Ambilan Minggu 9 Dob Trinitatis, 21 Agustus 2011 Usul Doding: Hal. No: 404:1-2
Matius 7:24-27
Perikop ini adalah penutup dari pengajaran Yesus kepada orang banyak dalam Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Pada bagian sebelumnya, Yesus memberikan pengajaran/firman ketengah-tengah orang banyak sebagai petunjuk hidup bagi orang-orang uang mengikut Dia (Lih. Mat. 5:1-7:23).
Dalam perikop ini Yesus menutup ajaranNya dengan sebuah perumpamaan tentang “Rumah di atas batu dan Rumah di atas pasir”. Untuk mengerti tentang perumpamaan ini baiklah kita memperhatikan iklim di wilayah Palestina, dimana setiap tahunnya ada musim kemarau tanpa hujan sedikitpun (kira-kira Mei-Sept). Pada musim kemarau tanah menjadi keras, sehingga kelihatan seperti batu, dan orang yang bodoh akan mengira dapat mendirikan rumah diatasnya. Tetapi harus juga diperhatikan bahwa di Palestina juga ada musim penghujan yang menurunkan hujan sangat lebat disertai angin ribut. Pada waktu air hujan mengalir dari lereng gunung, maka kemungkinan besar akan menggenangi rumah-rumah. Tanah yang keras tadi akan menjadi lunak dan mengalami erosi sehingga rumah yang dibangunan diatasnya akan rubuh. Lain halnya dengan orang yang bijaksana, ia akan memahami dengan benar mana pasir yang mengeras dan mana batu yang sebenarnya. Ia akan membangun rumah di atas batu yang sebenarnya, sehingga apabila hujan dan badai dating, rumahnya akan tetap kokoh berdiri. Hal pembangunan rumah dalam tradisi Yahudi kala itu sejalan dengan pemikiran tentang konstruksi bangunan pada umumnya. Rumah yang kokoh ditentukan oleh pondasinya. Semakin tinggi bangunan yang dibangun, maka semakin dalam dank eras pulalah pondasi yang diperlukan. Ada relasi sejajar antara bangunan dengan pondasi. Perumpamaan Yesus tentang “Rumah di atas batu dan Rumah di atas pasir” hendak menggambarkan bahwa ada relasi sejajar antara mendengarkan Firman dan melakukannya untuk menuju kehidupan yang kokoh/bahagia (Yun. Makarios).
Kehidupan yang kokoh/bahagia bersumber pada keselarasan mendengar dan melakukan Firman. Ini adalah hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Orang yang mendengarkan dan melakukan Firman itu, itulah yang disebut Yesus sebagi orang yang “bijaksana” (Ay. 24), dan dialah yang sampai kepada kebahagian. Sebaliknya, orang yang hanya mendengar tanpa melakukan firman, itulah yang disebut orang yang ‘bodoh’ (Ay. 26).
Dalam cuaca yang tentram, bangunan yang dibangun di atas pasir dan bangunan yang dibangun di atas batu karang akan kelihatan sama persis. Tapi ketika cuaca ekstrim (hujan dan badai) terjadi, maka bedanya akan sangat kelihatan. Demikian pula kita akan melihat perbedaan orang yang menghidupi Firman (mendengarkan dan melakukan) dengan orang yang hanya mendengarkan firman tanpa melakukan. Keduanya akan kelihatan sama-sama berbahagia. Akan tetapi ketika ‘goncangan’ hidup melanda maka perbedaannya akan kelihatan. Orang yang menghidupi Firman akan kuat, akan mampu memaknai ‘goncangan’ itu secara positif, sedangkan mereka yang hanya mendengarkan, akan lemah, mengeluh dan terguncang hidupnya.
Renungan.
1. Mendengarkan dan melakukan Firman Tuhan adalah PAKET yang tak bisa dikompromikan lagi untuk menuju kebahagiaan hidup (hidup yang kokoh). Namun sering kali kita ‘menawar’ paket ini. Mau mendengarkan, tapi tidak siap melakukan.
2. Perikop ini menyaksikan bahwa bangunan hidup yang kokoh didasari oleh kesediaan mendengarkan dan melakukan Firman. Pertanyaan: apa yang menjadi dasar bagi kita/keluarga/gereja saat ini dalam menggapai kebahagiaannya?
3. Ada kecenderungan di tengah-tengah kehidupan dewasa ini bahwa sumber/dasar kebahagian adalah materi dan kekuasaan. Maka, semua berlomba-lomba menggapai materi dan kuasa dengan jalan apapun. Efeknya, timbullah KKN, timbullah manusia yang memangsa sesamanya (homo homini lupus). Perikop ini mengingatkan kita untuk mencoba berfikir lebih baik untuk menilai dan menggapai kebahagiaan.
4. Firman Tuhan adalah kebenaran dan pondasi kebahagiaan. Melalui kebenaran FirmanNya, Allah menuntun kita pada kebahagiaan. Orang yang mendengar dan melakukan Firman itulah orang yang dimerdekakan dari segala kekhawatiran, rasa takut dan pergumulan. Paulus mengatakan, “kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran” (Rm. 6:18). Jadi, identitas kita sebenarnya adalah orang yang merdeka, yakni orang yang mampu menghidupi Firman.
Sibasaon Minggu 9 Dob Trinitatis, 21 Agustus 2011 Usul Doding: Hal. No: 299:1-2
Mazmur 40:9-12
Mazmur ini dituliskan oleh Daud sebagai ungkapan syukur atas karya Allah yang dialaminya dalam hidupnya. Pada ayat-ayat sebelumnya, Daud memamaparkan bagaimana Allah dengan nyata berkarya di tengah-tengah kehidupannya. Sebagai seorang Raja yang berkuasa, adalah hal yang wajar apabila kehidupan Daud diwarnai banyak kesusahan dan beban. Pada Mzm. 40:3 Daud menyaksikan bahwa Allah mengangkatnya dari “lobang kebinasaan”. Lobang kebinasaan adalah gambaran kesusahan hidup yang amat dalam dan merujuk kepada kematian. Tidak hanya itu, Allah juga memberikan nyanyian baru bagi Daud (40:4). Nyanyian baru adalah gambaran berkat atau kebahagiaan yang datang dari Allah. Karya Allah itu membuatnya menjadi kuat, disegani lawan-lawannya dan dihormati masyarakatnya (40:4). Daud benar-benar menyadari bahwa keselamatan, kebahagiaan dan kehormatan yang ada padanya sepenuhnya adalah karya Allah dalam hidupnya. Karya Allah yang merupakan buah kepercayaan dan kesetiaannya (40:5-6).
Karya Allah yang dirasakan oleh Daud menumbuhkan komitmen iman dalam dirinya untuk lebih setia terhadap Allah. Komitmen iman Daud tersebut terwujud dalam perikop khotbah ini:
1. Menjadi Pelaku Firman (40:6)
Dalam bagian ini Daud mengungkapkan sebuah komitmen iman “suka melakukan kehendak-Mu”. Daud melakukan kehendak didorong oleh rasa suka/cinta terhadap kehendak Allah, bukan karena aturan-aturan yang memaksanya. Mengapa ada kesukaan/kecintaan Daud melakukan kehendak Allah? Karena Firman (Taurat) ada dalam hatinya. Firman yang mendiami hati dan dirinya menggerakkan dirinya melakukan kehendak Allah.
Ayat ini hendak memberitakan kepada kita bahwa kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan ditentukan oleh keberadaan Firman dalam hati kita. Ketika Firman mendiami diri, disitu pulalah ada kemauan dan kemampuan melakukan kehendak Allah.
2. Bersaksi Secara Universal (10-11)
Kesadaran Daud pada karya Allah yang menaungi kehidupannya tidak hanya menuntunnya untuk menjadi pelaku Firman. Lebih jauh, kesadaran itu menuntun gaya hidupnya menjadi gaya hidup yang bersaksi. “Aku mengabarkan keadilan…tidak kutahan dalam bibirku…” (40:10), “keadilan tidaklah kusembunyikan…kesetiaanMu dan keselamatan dari padaMu kubicarakan…” (40:11) menggambarkan kehidupan Daud yang menyaksikan karya Tuhan dalam sikap hidupnya sebagai raja Israel kala itu. Ia menyuarakan keadilan, bahkan ia sendiri tak mampu menahan dirinya untuk tidak menyuarakan keadilan itu. Selanjutnya, kesaksiannya itu disampaikannya dalam “jemaah yang besar”. Jemaah yang besar, adalah gambaran universalitas. Jadi, Daud tidak hanya menyaksikan karya Tuhan secara ‘lokal’ (Israel saja), tapi juga secara ‘global’ kepada bangsa-bangsa.
Ayat ini menyaksikan kepada kita bahwa kehadiran umat Tuhan saat ini diharapkan menjadi umat yang bersaksi kepada seluruh dunia. Memberikan sukacita bagi orang-orang disekitarnya. Memberikan “efek sukacita” dimana dia berada. Mari kita renungkan: Apakah kehadiran Gereja dan kita saat ini sudah member “efek sukacita” bagi orang-orang disekitar kita???
3. Senantiasa Berharap Pada Kekuatan Kasih dan Rahmat Tuhan (40:12).
Daud menyadari betul keterbatasannya sebagai manusia. Ia sadar bahwa ia senantiasa berada dalam keterbatasan. Kesadaran itu menuntunnya untuk senantiasa berharap pada kekuatan dan kasih Tuhan. Memang, adalah hal yang sulit untuk terus berdiri sebagai pelaku Firman dan bersaksi ditengah-tengah dunia yang diwarnai godaan dan pergumulan. Kesaksian Daud pada ayat ini mengingatkan kita bahwa ketergantungan pada kasih dan kekuatan dari Tuhan akan membuat kita menjadi lebih kuat. Tentu, itu semua akan nyata dalam relasi yang intim dengan Tuhan. Dalam keintiman itulah kekuatan dan kasih Tuhan akan nyata. Daud hanya bersandar dan berharap pada kasih dan rahmat Tuhan, bukan kepada kekuatan lain. Ia tidak mencari kekuatan alternativ.
Ayat ini mengingatkan kita pada sebuah pilihan yang benar untuk menumpukan harapan. Pilihan yang tepat untuk menolong kita untuk mampu terus berdiri sebagai pelaku firman dan pelaku kesaksian