Senin, 27 April 2009

Turut memeriahkan Tahun Keluarga GKPS 2009

RUMAH TANGGA KRISTEN:

“DUNIA KECIL” YANG BERIBADAH

Oleh: Jhonedy Chandra Purba, S.Th

Pemuda GKPS Jl. Binjai Km. 7 Medan Resort Medan Barat

1. Rumah Tangga Adalah “Dunia Kecil” : Sebuah Pengantar

Banyak pandangan yang mencoba memberikan analogi tentang sebuah Rumah Tangga atau Keluarga. Analogi ini mungkin saja dimaksudkan untuk memperjelas pemahaman tentang apa itu Rumah Tangga, apa fungsi dan hakekatnya, atau mempertegas hal lain yang berkaitan dengan rumah tangga itu sendiri. Dalam tulisan ini saya mencoba menganalogikan Rumah Tangga Sebagai “Dunia Kecil”.

Rumah tangga adalah sebuah “dunia kecil”. “Dunia kecil” di mana seorang anak mulai lahir, tumbuh dan berinteraksi dengan dunia nyata, sebelum ia melangkah masuk ke dalam dunia nyata lebih besar dan lebih kompleks. Di “dunia kecil” inilah seorang anak mulai menapakkan langkahnya menjalani kehidupannya. Tempat ia mulai mengucapkan kata yang pertama sekali keluar dari mulutnya. Tempat di mana ia mulai mendengar kata-kata lewat telinganya. Tempat ia mulairangkaian kehidupannya. Singkatnya “dunia kecil” di mana ia melakukan setiap gerak-gerik kehidupannya secara perdana.

Dalam sebuah “dunia kecil”, seorang anak berinteraksi dengan individu yang ada di dalamnya. Interaksi itu mengharuskannya untuk berhadapan dengan realitas yang ada dalam lingkup rumah tangga itu. Sebagai “dunia kecil”, rumah tangga membawa pembelajaran baru bagi seorang manusia untuk melangkah masuk ke dalam dunia yang lebih besar, yakni masyarakat. Di rumah tangga seorang anak dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan untuk survive dalam dunia yang lebih besar yang mau tidak mau harus dia hadapi. Singkatnya, rumah tangga adalah “dunia kecil” di mana seorang anak dibekali untuk survive dalam interaksi kehidupannya.

2. “Dunia Kecil” Itu Diwarnai Interaksi dan Masalah.

Rumah tangga dibentuk oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda dalam berbagai aspek (Mis. Latar belakang, budaya, pendidikan, karakter, pola pikir, sosioekonomi, dll). Pribadi yang berbeda itu, kemudian dipersatukan dalam wadah perkawinan dan dikukuhkan secara agamawi dan hukum. Paska perkawinan, pribadi yang berbeda itu juga harus terus mangadakan penyesuaian (interaksi) dalam rangka saling melengkapi dan menerima dalam rangka mencapai visi bersama. Melalui penyesuaian itu, diharapkan perbedaan yang ada menjadi suatu yang melengkapi dan harmonis.

Setiap orang yang membentuk rumah tangga baru pasti menginginkan kondisi yang harmonis. Semua pasti bercita-cita untuk menjadi sumber kebahagiaan bagi anggota rumah tangga yang lain. Semua cara dan upaya dilakukan. Tapi kadangkala hal yang kontras justru terjadi di tengah-tengah rumah tangga itu. Sesekali timbul hal-hal yang menggangu harmonisasi hidup rumah tangga. Harmonisasi hidup yang diupayakan melalui interaksi kadangkala terganggu oleh pergumulan hidup yang dijumpai. Rumah tangga yang diharapkan sebagai wadah pembentukan yang efektiv justru berubah menjadi “tempat empuk” untuk meluapkan ketidakpuasan yang dialami akibat pergumulan hidup. Akhirnya hidup rumah tangga yang diharapkan (harmonis) berubah menjadi “Tempat Pembuangan Akhir” (TPA) ketidakpuasan. Sehingga interaksi di dalamnya diwarnai interaksi yang sarat dengan “ego dan kekuasaan”. Rumah tangga menjadi tempat pembentukan yang diwarnai oleh interaksi dan masalah. Sebagai wadah pembentukan, rumah tangga diharapkan mampu memanajemen setiap interaksi dan masalah yang ada di dalamnya secara positif untuk membangun sikap positif pula. Cara pandang dan manajemen interaksi dan masalah yang terjadi dalam rumah tangga sangat menentukan cara pandang dan menejemen interaksi dan masalah seorang anak dalam “dunia” yang lebih besar.

3. “Dunia Kecil” Itu Merupakan Bagian Integral dari Masyarakat.

Rumah tangga adalah bagian integral dari tatanan masyarakat. Sebagai bagian integral masyarakat, mau tidak mau, rumah tangga pasti berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat yang berbeda budaya, suku, pendidikan, karakter, agama, sosioekonomi, dll. Rumah tangga diharapkan mampu membangun perspektif anak dalam memandang masyarakat dan bersikap di dalamnya. Cara rumah tangga memandang masyarakat sekitarnya akan mempengaruhi cara pandang dan sikapnya.

Dalam rumah tangga seorang anak dibekali bagaimana memandang masyarakat dan bersikap di dalamnya. Cara pandang dan sikap yang cenderung negatif melihat masyarakat sering kali akan membentuk anak-anak yang takut dan ragu untuk melakukan interaksi sosial. Ini pasti akan mempengaruhi sikap dan cara pandangnya melihat manusia lain dalam “dunia” yang lebih luas yang akan dihadapinya. Bahkan cara pandang dan sikap itu akan membentuk pribadi anak yang egois, mementingkan diri sendiri dan tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Jadi, sebagai salah satu wadah pembentukan, rumah tangga wajib menentukan cara pandang dan sikap yang tepat kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

4. “Dunia Kecil” Itu Senantiasa Berjalan.

Rumah tangga adalah bukti komitmen untuk menyatukan perbedaan demi sebuah harmonisasi hidup. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam pribadi pembentuk rumah tangga akan senantiasa ada. Pembentuk rumah tangga adalah manusia yang dinamis, dengan demikian sikap dan kehidupannya juga tidak akan stagnan pada satu kondisi tertentu. Keadaan inilah yang membuat anggota rumah tangga terus berupa melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan adalah demi terciptanya rumah tangga yang diidamkan.

Sebagai wadah pembentukan, rumah tangga juga akan terus berjalan membentuk pribadi anak sesuai dengan harapan. Sama seperti anggota rumah tangga yang lain, anak juga mengalami dinamika hidup. Kehidupan yang dinamis ini tentunya membuat sikap dan kepridadian yang kadangkala harus jatuh bangun. Di sinilah peran rumah tangga sebagai wadah pembentuk dan pembekalan yang terus berjalan. Selama anggota rumah tangga memiliki dinamika hidup, disaat itu pulalah rumah tangga terus berjalan sebagai wadah pembentukan dan pembekalan.

5. “Dunia Kecil” Yang Beribadah.

Eksistensi Rumah Tangga Kristen sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Umat Percaya di tengah-tengah dunia. Rumah tangga Kristen adalah bagian dari komunitas umat percaya yang ada di dunia ini. Ketidakterpisahan rumah tangga Kristen dengan umat percaya niscaya memberikan peran dan fungsi yang sejajar. Artinya, peran dan fungsi umat percaya di tengah-tengah dunia ini juga adalah bagian dari peran dan fungsi dari rumah tangga Kristen.

Umat Percaya (Ibr. Qahal; Yun. Ekklesia) adalah orang yang dikumpulkan oleh Allah, dipadukan oleh aturan-aturan Allah dan mengambil bagian dalam perjanjian dengan Allah. Von Rad (Seorang teolog PL) menegaskan bahwa umat percaya dipanggil untuk menyembah dan melakukan perintah Allah. Dipanggil dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi sesama manusia (Bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4:20; Tit. 2:14; 1 Ptr.2:9,14). Umat percaya adalah pribadi dan persekutuan fungsional. Pribadi dan komunitas yang dipanggil sebagai alat kesejahteraan atas nama Allah. Dengan demikian, umat percaya sejatinya adalah pribadi dan komunitas yang dipakai Allah sebagai alat-Nya. Pribadi dan komunitas yang menghambakan diri kepada Allah.

Tindakan menghambakan diri kepada Allah itulah ibadah. Ibadah (Ibr. Abodah; Yun. Latreia) berarti melayani, bekerja, menghambakan diri. Tindakan ini didasari oleh rasa “takut” penuh hormat dan ketakjuban penuh puja. Dalam ibadah terkandung dimensi ketaatan dan kesukarelaan bekerja untuk Allah.

Jika “Dunia Kecil” atau rumah tangga Kristen adalah bagian dari umat percaya, maka setiap rumah tangga Kristen adalah rumah tangga yang menghambakan dirinya kepada Allah, bekerja untuk Allah, menyembah dan melakukan perintah Allah, dikuduskan dan dipanggil untuk menjadi berkat. Dengan kata lain, setiap penghuni “dunia kecil” itu adalah pribadi yang penuh kesetiaan senantiasa melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya, bagi sesama dan bagi dunia ini. Dan hal itu semata-mata dilakukan sebagai wujud ketaatannya kepada Allah dan rasa syukur yang mendalam kepada Allah (Bnd. 1 Taw. 16:34; Mzm.17:8; Rm. 12:1-8).

“Dunia kecil” atau rumah tangga yang bersyukur mengandung nuansa iman yang memanggil setiap orang untuk hidup dalam Firman Tuhan. Melakukan setiap Firman dan hidup dalam keteladanan akan Kristus. Dalam rumah tangga yang demikian Yesus Kristus senantiasa dijadikan pondasi kehidupannya dan Firman Allah menjadi penopang dan penuntun setiap pribadi yang ada dalam rumah tangga itu (Bnd. 1 Kor.3:10-23). Semuanya akan memperlihatkan pola hidup: “Dalam Segala Hal Hendaknya Setiap Rumah Tangga Hidup dalam Firman Tuhan”. Dengan demikian warna kehidupan dalam rumah tangga itu akan memancarkan kasih, saling menghargai dan menghormati, saling melengkapi, saling membutuhkan, saling mengingatkan, saling mengampuni dan saling memperhatikan dan menopang (Bnd. Yoh. 13:34-35; Ef. 3:17; 6:1-9; Gal. 6:1-10). Inilah sejatinya “dunia kecil” yang beribadah.

Disamping itu, rumah tangga Kristen yang beribadah adalah rumah tangga Kristen yang mampu bersikap adil dan benar dalam setiap gerak kehidupannya. Dalam pola pikir, tutur kata dan sikap hidup. Memandang setiap orang (tanpa terkecuali) sebagai sesama ciptaan Allah yang harus dikasihi dan diperlakukan secara adil dan benar. Rumah tangga Kristen dapat menjadi Keluarga Kristen yang beribadah jika setiap orang yang berada di dalamnya terus terpanggil (simultan dan kontiniu) mewujudnyatakan kasih dan damai di tengah-tengah kehidupannya.

6. Orang Tua Sebagai Pendidik Menuju “Dunia Kecil” yang Beribadah.

Rumah tangga didiami oleh orang tua (bapak dan ibu) dan anak-anaknya. Setiap orang memiliki peran dan tanggungjawabnya masing-masing sebagaimana yang telah dinyatakan Allah. Dalam Surat Efesus 6:1-4 dikatakan: Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu. Ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Dalam perikop ini jelas dinyatakan bahwa peran dan tanggungjawab anak adalah menghormati orang tua, dan orang tua berperan dalam pendidikan. Jelas terlihat bahwa orang tua memiliki peran dan tanggungjawab yang sangat menentukan. Tentunya hal ini juga tidak bermaksud mengesampingkan peranan dan tanggungjawab anak di tengah keluarga. Orang tua sebagai pendidik berarti berperan masa kini untuk buah yang akan dilihat pada masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan gerakan menuju”dunia kecil” yang beribadah, maka peranan orang tua sebagai pendidik sangat menentukan realisasi rumah tangga menjadi “dunia kecil” yang beribadah. Masa depan rumah tangga sangat ditentukan oleh pendidikan orang tua.

Orang tua sebagai penentu realitas “dunia kecil” yang beribadah dinyatakan untuk tidak membangkitkan amarah (Ay. 4). Amarah akan menimbulkan luka hati bahkan kebencian. Dalam amarah sesuatu yang baik bisa saja kelihatan buruk, suatu yang putih bisa saja kelihatan abu-abu atau bahkan hitam. Singkatnya amarah akan menimbulkan suasana hidup yang tidak nyaman dan akan mempengaruhi sikap hidup anak. Selanjutnya dikatakan, “didiklah…”. Dalam kata “didik” terkandung nilai kedisiplinan (Disciple = Discipline), dalam pikiran, kata dan perbuatan yang bukan hanya harus diperlihatkan anak didik, lebih-lebih lagi oleh pendidik. Dalam pendidikan terkandung sebuah keteladanan. Artinya, pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang dilakukan dengan keteladanan yang komprehensif. Pendidik harus mampu menjadi teladan bagi yang dididik. Pendidik (Yun. Paedagogos) adalah pendamping, penjaga dan pengawas. Fungsi pendidik dalam pribadi orang tua adalah perpaduan dari fungsi seorang perawat, pendamping dan pembimbing. Inilah yang menjadi tugas utama orang tua senada dengan karya Kristus yang merawat, mendampingi dan membimbing anak-anak.

Hal yang terpenting dari peran dan tanggungjawab orang tua sebagai pendidik adalah membawa seluruh anggota rumah tangga meneladani Kristus. Kristus dan firman-Nyalah yang dituju, bukan kehendak orang tua. Membawa anggota rumah tangga meneladani Kristus tentunya menuntut orang tua yang telah terlebih dahulu “kenal baik” dengan Kristus. Karena adalah hal yang mustahil apabila seorang yang tidak mengenal Yesus memperkenalkan Yesus kepada orang lain. Keadaan “kenal baik” dengan Kristus dalam pribadi orang tua tentunya bukan sekedar teori, tapi itu harus nyata dalam pribadinya yang hidup dalam Kasih. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan akan berjalan baik, dan sangat besar kemungkinan akan tercipta di kemudian hari pribadi “dunia kecil” yang beribadah, komunitas yang beribadah, bangsa yang beribadah dan dunia yang beribadah. Rumah tangga tidak hanya menjadi “dunia kecil” tempat belajar, tetapi juga mampu menjadi “gereja kecil” dimana firman Allah terpancar dan bersinar.

Medan, Minggu Misericordias Domini

25 April 2009

Rabu, 15 April 2009

DEMI ENGKAU AKU RELA (Renungan Paskah)

DEMI ENGKAU AKU RELA

(Efesus. 5:1-4)

Bahan Penelaahan Alkitab Paskah

Pemuda GKPS Belawan Resort Medan Utara & Pemuda GKPS Pers. Patumbak Resort Menteng Indah

Oleh:Jhonedy Chandra Purba, S.Th

Rela…rela…rela aku relakan! Rela…rela…rela aku rela...

  1. Inilah sepenggal syair lagu dangdut era 90-an yang menyatakan sebuah konsep “kerelaan” yang diberikan seorang kekasih kepada pasangannya. Kata “rela” adalah kata yang sering kita dengar dan mungkin merupakan kata yang sering kita ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam KBBI, ada beberapa pengertian yang menguraikan kata “rela”: 1. Bersedia (sudi) dengan ikhlas hati. 2. Izin (persetujuan) perkenaan. 3. Dengan senang hati. 4. Tidak mengharap imbalan. 5. Dengan kehendak dan kemauan sendiri. “Rela” berarti bersedia melakukan/ memberi / mengorbankan sesuatu secara ikhlas, senang hati, tidak mengharapkan imbalan dan dilakukan dengan kehendak sendiri. Orang yang rela tidak megharapkan akan diberi ketika ia memberi. Mau berkorban tanpa mengharapkan penghargaan yang lebih dan mau bekerja tanpa berharap akan upeti.

Ada beberapa dimensi yang diperlihatkan dalam sikap rela: 1. Rela berarti memberikan sesuatu yang berarti. 2. Melakukan sesuatu tanpa syarat. 3. Melakukan sesuatu dengan rasa syukur dan juga menimbulkan rasa syukur. 4. Rela juga mengandung unsur kasih.

  1. Paskah[1] adalah wujud nyata kerelaan Kristus

Dalam perjalanan pelayananNya, kita melihat bahwa dalam pribadi Yesus terpancar sikap rela. Ialah lahir ke dunia dalam rupa hamba (Fil.2:6-8); menjalani Via Dolorosa dengan menerima hinaan, makian, pukulan dan bahkan tikaman yang tidak hanya membawa luka fisik, namun juga luka batin (Luk. 23:1-49). Itu semua dijalani Yesus atas dasar kerelaannya, supaya manusia terbebas dari belenggu dosa dan maut (Rom.3:23-25; 6:23). Yesus rela menderita untuk kebebasan kita, Ia rela mati supaya kita hidup. Kasihnya kepada dunia mendasari kerelaanNya, dan semua itu dilakukan tanpa syarat, ikhlas untuk kemuliaan Bapa (Ay. 2).

3 Respon kita sebagai penerima kerelaan Kristus.

Kerelaan Kristus untuk menderita adalah untuk kebebasan kita, kematianNya adalah untuk kehidupan kita. Yesus menderita dan mati (Paskah) terjadi untuk kebahagiaan dan kehidupan bagi kita. Kalau kita tidak hidup dan tidak bahagia karena Paskah, maka sia-sialah kerelaan itu, karena dalam kerelaan terkandung dimensi syukur bagi si penerima. Dalam efesus 5:1-4, ada ciri kehidupan yang bahagia ysang timbul karena paskah:

a. Hidup sebagai penurut-penurut Allah (hidup dalam ketaatan) (ay.1)

penurut Allah berarti, turut dan patuh kepada Allah serta segala aturanNya. Orientasi dan tujuan hidup penurut-penurut Allah adalah aturan Allah. Dengan demikian sang penurut memiliki ketergantungan mutlak kepada Allah. Dalam hal ini diperlukan relasi dan komunikasi yang baik antara sipenurut (manusia) dengan Allah supaya dia tau apa yang harus dia turuti. Diperlukan komunikasi dan relasi yang berlangsung PeDe (Per detik) XL (Extra Luas) dan senantiasa AXIS. Artinya relasi dan komunikasi yang dibangun berlangsung terus menerus, dalam setiap ruang dan waktu dan dilakukan konsisten dalam suka maupun duka

b. Hidup Dalam Kasih (ay. 2)

Buah dari komunikasi dan relasi yang PeDe, XL, dan AXIS kepada Allah harus terlihat dalam sikap hidup yang penuh kasih. Kasih yang diperlihatkan adalah buah dari komunikasinya dengan Allah. Kasih itu bercermin dari Kasih Yesus. Kasih yang menghadirkan Damai Sejahtera (syalom) dan sukacita (Lih. 1 Kor. 13:4-7). Kasih yang demikian adalah kasih yang muncul dari perpaduan Love in thinking, speaking and doing.

c. Hidup Kudus (ay. 3)

Kudus (qados) berarti dikhususkan bagi Allah. Hidup kudus dimaknai sebagai hidup yang segala dimensinya semata-mata diarahkan kepada Tuhan. Pikiran, perkataan dan perbuatan dikuasai oleh Roh Allah dan diperuntukkan untuk kemulian Allah. Thinking, speaking and doing to serve God. Jika demikian, hidup kudus berarti hidup untuk kemuliaan Allah yang termanifestasi dalam hidup yang bermakna bagi dunia, hidup yang menjadi berkat (ay. 4)

d. Senantiasa Bersyukur (ay.4)

Salah satu hal yang terberat yang dilakukan manusia adalah bersyukur! Banyak cerita dalam legenda masyarakat yang menggambarkan betapa sulitnya manusia untuk bersyukur dan mendapatkan kegagalan karena lupa bersyukur (Mis, Legenda Sampuraga, Malin Kundang). Orang yang mau bersyukur adalah orang yang mau menghargai kerelaan orang lain. Dalam kaitannya dengan iman, orang yang bersyukur adalah orang yang beriman. Karena dalam bersyukur ada keyakinan dan penghargaan atas oknum yang telah memberi/ merelakan sesuatu. Orang yang bersyukur adalah orang yang menghargai kerelaan Allah dalam membebaskan ia dari maut dan dosa. Bersyukur juga merupakan ciri orang-orang yang menghargai berkat (1 Tes. 3:13).

Bersyukur tidak sekedar lips service. Tidak sekedar ucapan ”terima kasih Tuhan” tetapi syukur juga harus dinyatakan dalam sikap hidup yang memberi diri untuk Tuhan dalam pelayanan. Orang yang bersyukur akan melayani lewat kemampuan dan talenta yang ada padanya.

4 PASKAH : “demi engkau AKU rela“ menjadi “demi ENGKAU aku rela“

Paskah adalah wujud kerelaan Kristus memberi diri untuk keselamatan manusia. Dalam setiap penderitaan dan siksaan yang dialami Yesus tersirat ucapan “demi engkau AKU rela“. Dalam setiap tetes peluh dan darah dari sekujur tubuhnya juga tersirat “demi engkau AKU rela“.

Yang menjadi pertanyaan dan perenungan bagi kita adalah: Apa respon yang saya berikan ketika Yesus mengisyaratkan “demi engkau AKU rela“ dalam setiap rintihanNya? Apa yang Saya perbuat untuk menghargai kerelaan itu. Perikop ini mengingatkan kita agar memberi respon bagi kerelaan Yesus. Respon yang mengajak kita untuk menjadi penurut-penurut Allah walau banyak godaan dimasa muda ini, mengajak kita untuk hidup dalam kasih walau dunia dipenuhi kebencian dan amarah, mengajak kita untuk hidup kudus walau dunia penuh kecemaran, mengajak kita untuk senantiasa bersyukur walau dunia tak pernah merasa cukup, mengajak kita untuk menjadi pemuda GKPS yang memberi diri bagi pelayanan sebagai sahabat Yesus.

Sebagai pemuda sahabat Yesus kita sudah menerima kerelaan dan pengorbanan Kristus. Maka sudah selayaknya kita memberi jawaban yang pasti kepada Yesus: ”demi ENGKAU aku rela”. ”Demi ENGKAU Aku rela” berlelah dalam pelayanan ini, ”demi ENGKAU aku rela” dianggap bodoh oleh dunia karena aku turut aturanMu. ”Demi ENGKAU aku rela” berpeluh menahan ego dan keinginan daging demi memperlihatkan kasih. ”Demi ENGKAU aku rela” mengkerdilkan nafsu duniaku agar selalu bisa bersyukur atas anugerahMu.

Inilah saatnya kita berkomitmen untuk memberi diri dalam setiap pelayanan. Inilah saatnya kita bangkit dan maju dalam pelayanan. Ya Tuhan... demi ENGKAU aku rela!



[1] Paskah adalah suatu hari raya yang dirayakan orang Yahudi untuk memperingati pembebasan Israel dari Mesir. Anak sulung orang Mesir mati dibunuh, tapi pintu-pintu orang Ibrani dilewati (Ibr: Pesakh yang sesjajar dengan Paskah, yang berarti “melewati”). Paskah diperingati dengan mengadakan perjamuan dengan memakan korban paskah atau anak domba Paskah (Kel. 12:23-28; 43-51). Dalam Perjanjian Baru Kristuslah yang disebut korban Paskah (1 Kor. 5:7; Why. 5:6). Gereja Kristen masa kini merayakan Paskah pada hari kebangkitan Kristus, kebangkitan kristus menandai kemenanangnnya atas dosa dasn maut. Orang yang percaya akan Kristus juga mendapatkan kemenangan itu dan lepas dari dosa dan maut.

Senin, 13 April 2009

Salam Kenal...

Horas... Horas... Horas...
Selamat datang di Blog ini!
Mari bergabung dan silahkan beri komentar anda. Tapi saya sangat mengharkai komontar anda jika mengandung nada positif dan disampaikan dengan sopan dan baik..
Horas... Horass... Horasss....

Untuk Apa Engkau Hidup??

Untuk Apa Engkau Hidup???
Adalah hal yang sulit jika kita diperhadapkan dengan pertanyaan ini! Tapi apa jawaban anda ketika pertanyaan ini dipertanyakan kepada anda dan menuntut jawaban dari anda? Sulit khan? Ya, memang pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sulit, jika itu menuntut kejujuran dan idealisme.
Coba renungkan dan silahkan jawab!!!!