RUMAH TANGGA KRISTEN:
“DUNIA KECIL” YANG BERIBADAH
Oleh: Jhonedy Chandra Purba, S.Th
Pemuda GKPS Jl. Binjai Km. 7
1. Rumah Tangga Adalah “Dunia Kecil” : Sebuah Pengantar
Banyak pandangan yang mencoba memberikan analogi tentang sebuah Rumah Tangga atau Keluarga. Analogi ini mungkin saja dimaksudkan untuk memperjelas pemahaman tentang apa itu Rumah Tangga, apa fungsi dan hakekatnya, atau mempertegas hal lain yang berkaitan dengan rumah tangga itu sendiri. Dalam tulisan ini saya mencoba menganalogikan Rumah Tangga Sebagai “Dunia Kecil”.
Rumah tangga adalah sebuah “dunia kecil”. “Dunia kecil” di mana seorang anak mulai lahir, tumbuh dan berinteraksi dengan dunia nyata, sebelum ia melangkah masuk ke dalam dunia nyata lebih besar dan lebih kompleks. Di “dunia kecil” inilah seorang anak mulai menapakkan langkahnya menjalani kehidupannya. Tempat ia mulai mengucapkan kata yang pertama sekali keluar dari mulutnya. Tempat di mana ia mulai mendengar kata-kata lewat telinganya. Tempat ia mulairangkaian kehidupannya. Singkatnya “dunia kecil” di mana ia melakukan setiap gerak-gerik kehidupannya secara perdana.
Dalam sebuah “dunia kecil”, seorang anak berinteraksi dengan individu yang ada di dalamnya. Interaksi itu mengharuskannya untuk berhadapan dengan realitas yang ada dalam lingkup rumah tangga itu. Sebagai “dunia kecil”, rumah tangga membawa pembelajaran baru bagi seorang manusia untuk melangkah masuk ke dalam dunia yang lebih besar, yakni masyarakat. Di rumah tangga seorang anak dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan untuk survive dalam dunia yang lebih besar yang mau tidak mau harus dia hadapi. Singkatnya, rumah tangga adalah “dunia kecil” di mana seorang anak dibekali untuk survive dalam interaksi kehidupannya.
2. “Dunia Kecil” Itu Diwarnai Interaksi dan Masalah.
Rumah tangga dibentuk oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda dalam berbagai aspek (Mis. Latar belakang, budaya, pendidikan, karakter, pola pikir, sosioekonomi, dll). Pribadi yang berbeda itu, kemudian dipersatukan dalam wadah perkawinan dan dikukuhkan secara agamawi dan hukum. Paska perkawinan, pribadi yang berbeda itu juga harus terus mangadakan penyesuaian (interaksi) dalam rangka saling melengkapi dan menerima dalam rangka mencapai visi bersama. Melalui penyesuaian itu, diharapkan perbedaan yang ada menjadi suatu yang melengkapi dan harmonis.
Setiap orang yang membentuk rumah tangga baru pasti menginginkan kondisi yang harmonis. Semua pasti bercita-cita untuk menjadi sumber kebahagiaan bagi anggota rumah tangga yang lain. Semua cara dan upaya dilakukan. Tapi kadangkala hal yang kontras justru terjadi di tengah-tengah rumah tangga itu. Sesekali timbul hal-hal yang menggangu harmonisasi hidup rumah tangga. Harmonisasi hidup yang diupayakan melalui interaksi kadangkala terganggu oleh pergumulan hidup yang dijumpai. Rumah tangga yang diharapkan sebagai wadah pembentukan yang efektiv justru berubah menjadi “tempat empuk” untuk meluapkan ketidakpuasan yang dialami akibat pergumulan hidup. Akhirnya hidup rumah tangga yang diharapkan (harmonis) berubah menjadi “Tempat Pembuangan Akhir” (TPA) ketidakpuasan. Sehingga interaksi di dalamnya diwarnai interaksi yang sarat dengan “ego dan kekuasaan”. Rumah tangga menjadi tempat pembentukan yang diwarnai oleh interaksi dan masalah. Sebagai wadah pembentukan, rumah tangga diharapkan mampu memanajemen setiap interaksi dan masalah yang ada di dalamnya secara positif untuk membangun sikap positif pula. Cara pandang dan manajemen interaksi dan masalah yang terjadi dalam rumah tangga sangat menentukan cara pandang dan menejemen interaksi dan masalah seorang anak dalam “dunia” yang lebih besar.
3. “Dunia Kecil” Itu Merupakan Bagian Integral dari Masyarakat.
Rumah tangga adalah bagian integral dari tatanan masyarakat. Sebagai bagian integral masyarakat, mau tidak mau, rumah tangga pasti berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat yang berbeda budaya, suku, pendidikan, karakter, agama, sosioekonomi, dll. Rumah tangga diharapkan mampu membangun perspektif anak dalam memandang masyarakat dan bersikap di dalamnya. Cara rumah tangga memandang masyarakat sekitarnya akan mempengaruhi cara pandang dan sikapnya.
Dalam rumah tangga seorang anak dibekali bagaimana memandang masyarakat dan bersikap di dalamnya. Cara pandang dan sikap yang cenderung negatif melihat masyarakat sering kali akan membentuk anak-anak yang takut dan ragu untuk melakukan interaksi sosial. Ini pasti akan mempengaruhi sikap dan cara pandangnya melihat manusia lain dalam “dunia” yang lebih luas yang akan dihadapinya. Bahkan cara pandang dan sikap itu akan membentuk pribadi anak yang egois, mementingkan diri sendiri dan tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Jadi, sebagai salah satu wadah pembentukan, rumah tangga wajib menentukan cara pandang dan sikap yang tepat kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
4. “Dunia Kecil” Itu Senantiasa Berjalan.
Rumah tangga adalah bukti komitmen untuk menyatukan perbedaan demi sebuah harmonisasi hidup. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam pribadi pembentuk rumah tangga akan senantiasa ada. Pembentuk rumah tangga adalah manusia yang dinamis, dengan demikian sikap dan kehidupannya juga tidak akan stagnan pada satu kondisi tertentu. Keadaan inilah yang membuat anggota rumah tangga terus berupa melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan adalah demi terciptanya rumah tangga yang diidamkan.
Sebagai wadah pembentukan, rumah tangga juga akan terus berjalan membentuk pribadi anak sesuai dengan harapan. Sama seperti anggota rumah tangga yang lain, anak juga mengalami dinamika hidup. Kehidupan yang dinamis ini tentunya membuat sikap dan kepridadian yang kadangkala harus jatuh bangun. Di sinilah peran rumah tangga sebagai wadah pembentuk dan pembekalan yang terus berjalan. Selama anggota rumah tangga memiliki dinamika hidup, disaat itu pulalah rumah tangga terus berjalan sebagai wadah pembentukan dan pembekalan.
5. “Dunia Kecil” Yang Beribadah.
Eksistensi Rumah Tangga Kristen sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Umat Percaya di tengah-tengah dunia. Rumah tangga Kristen adalah bagian dari komunitas umat percaya yang ada di dunia ini. Ketidakterpisahan rumah tangga Kristen dengan umat percaya niscaya memberikan peran dan fungsi yang sejajar. Artinya, peran dan fungsi umat percaya di tengah-tengah dunia ini juga adalah bagian dari peran dan fungsi dari rumah tangga Kristen.
Umat Percaya (Ibr. Qahal; Yun. Ekklesia) adalah orang yang dikumpulkan oleh Allah, dipadukan oleh aturan-aturan Allah dan mengambil bagian dalam perjanjian dengan Allah. Von Rad (Seorang teolog PL) menegaskan bahwa umat percaya dipanggil untuk menyembah dan melakukan perintah Allah. Dipanggil dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi sesama manusia (Bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4:20; Tit. 2:14; 1 Ptr.2:9,14). Umat percaya adalah pribadi dan persekutuan fungsional. Pribadi dan komunitas yang dipanggil sebagai alat kesejahteraan atas nama Allah. Dengan demikian, umat percaya sejatinya adalah pribadi dan komunitas yang dipakai Allah sebagai alat-Nya. Pribadi dan komunitas yang menghambakan diri kepada Allah.
Tindakan menghambakan diri kepada Allah itulah ibadah. Ibadah (Ibr. Abodah; Yun. Latreia) berarti melayani, bekerja, menghambakan diri. Tindakan ini didasari oleh rasa “takut” penuh hormat dan ketakjuban penuh puja. Dalam ibadah terkandung dimensi ketaatan dan kesukarelaan bekerja untuk Allah.
Jika “Dunia Kecil” atau rumah tangga Kristen adalah bagian dari umat percaya, maka setiap rumah tangga Kristen adalah rumah tangga yang menghambakan dirinya kepada Allah, bekerja untuk Allah, menyembah dan melakukan perintah Allah, dikuduskan dan dipanggil untuk menjadi berkat. Dengan kata lain, setiap penghuni “dunia kecil” itu adalah pribadi yang penuh kesetiaan senantiasa melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya, bagi sesama dan bagi dunia ini. Dan hal itu semata-mata dilakukan sebagai wujud ketaatannya kepada Allah dan rasa syukur yang mendalam kepada Allah (Bnd. 1 Taw. 16:34; Mzm.17:8; Rm. 12:1-8).
“Dunia kecil” atau rumah tangga yang bersyukur mengandung nuansa iman yang memanggil setiap orang untuk hidup dalam Firman Tuhan. Melakukan setiap Firman dan hidup dalam keteladanan akan Kristus. Dalam rumah tangga yang demikian Yesus Kristus senantiasa dijadikan pondasi kehidupannya dan Firman Allah menjadi penopang dan penuntun setiap pribadi yang ada dalam rumah tangga itu (Bnd. 1 Kor.3:10-23). Semuanya akan memperlihatkan pola hidup: “Dalam Segala Hal Hendaknya Setiap Rumah Tangga Hidup dalam Firman Tuhan”. Dengan demikian warna kehidupan dalam rumah tangga itu akan memancarkan kasih, saling menghargai dan menghormati, saling melengkapi, saling membutuhkan, saling mengingatkan, saling mengampuni dan saling memperhatikan dan menopang (Bnd. Yoh. 13:34-35; Ef. 3:17; 6:1-9; Gal. 6:1-10). Inilah sejatinya “dunia kecil” yang beribadah.
Disamping itu, rumah tangga Kristen yang beribadah adalah rumah tangga Kristen yang mampu bersikap adil dan benar dalam setiap gerak kehidupannya. Dalam pola pikir, tutur kata dan sikap hidup. Memandang setiap orang (tanpa terkecuali) sebagai sesama ciptaan Allah yang harus dikasihi dan diperlakukan secara adil dan benar. Rumah tangga Kristen dapat menjadi Keluarga Kristen yang beribadah jika setiap orang yang berada di dalamnya terus terpanggil (simultan dan kontiniu) mewujudnyatakan kasih dan damai di tengah-tengah kehidupannya.
6. Orang Tua Sebagai Pendidik Menuju “Dunia Kecil” yang Beribadah.
Rumah tangga didiami oleh orang tua (bapak dan ibu) dan anak-anaknya. Setiap orang memiliki peran dan tanggungjawabnya masing-masing sebagaimana yang telah dinyatakan Allah. Dalam Surat Efesus 6:1-4 dikatakan: Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu. Ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Dalam perikop ini jelas dinyatakan bahwa peran dan tanggungjawab anak adalah menghormati orang tua, dan orang tua berperan dalam pendidikan. Jelas terlihat bahwa orang tua memiliki peran dan tanggungjawab yang sangat menentukan. Tentunya hal ini juga tidak bermaksud mengesampingkan peranan dan tanggungjawab anak di tengah keluarga. Orang tua sebagai pendidik berarti berperan masa kini untuk buah yang akan dilihat pada masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan gerakan menuju”dunia kecil” yang beribadah, maka peranan orang tua sebagai pendidik sangat menentukan realisasi rumah tangga menjadi “dunia kecil” yang beribadah. Masa depan rumah tangga sangat ditentukan oleh pendidikan orang tua.
Orang tua sebagai penentu realitas “dunia kecil” yang beribadah dinyatakan untuk tidak membangkitkan amarah (Ay. 4). Amarah akan menimbulkan luka hati bahkan kebencian. Dalam amarah sesuatu yang baik bisa saja kelihatan buruk, suatu yang putih bisa saja kelihatan abu-abu atau bahkan hitam. Singkatnya amarah akan menimbulkan suasana hidup yang tidak nyaman dan akan mempengaruhi sikap hidup anak. Selanjutnya dikatakan, “didiklah…”. Dalam kata “didik” terkandung nilai kedisiplinan (Disciple = Discipline), dalam pikiran, kata dan perbuatan yang bukan hanya harus diperlihatkan anak didik, lebih-lebih lagi oleh pendidik. Dalam pendidikan terkandung sebuah keteladanan. Artinya, pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang dilakukan dengan keteladanan yang komprehensif. Pendidik harus mampu menjadi teladan bagi yang dididik. Pendidik (Yun. Paedagogos) adalah pendamping, penjaga dan pengawas. Fungsi pendidik dalam pribadi orang tua adalah perpaduan dari fungsi seorang perawat, pendamping dan pembimbing. Inilah yang menjadi tugas utama orang tua senada dengan karya Kristus yang merawat, mendampingi dan membimbing anak-anak.
Hal yang terpenting dari peran dan tanggungjawab orang tua sebagai pendidik adalah membawa seluruh anggota rumah tangga meneladani Kristus. Kristus dan firman-Nyalah yang dituju, bukan kehendak orang tua. Membawa anggota rumah tangga meneladani Kristus tentunya menuntut orang tua yang telah terlebih dahulu “kenal baik” dengan Kristus. Karena adalah hal yang mustahil apabila seorang yang tidak mengenal Yesus memperkenalkan Yesus kepada orang lain. Keadaan “kenal baik” dengan Kristus dalam pribadi orang tua tentunya bukan sekedar teori, tapi itu harus nyata dalam pribadinya yang hidup dalam Kasih. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan akan berjalan baik, dan sangat besar kemungkinan akan tercipta di kemudian hari pribadi “dunia kecil” yang beribadah, komunitas yang beribadah, bangsa yang beribadah dan dunia yang beribadah. Rumah tangga tidak hanya menjadi “dunia kecil” tempat belajar, tetapi juga mampu menjadi “gereja kecil” dimana firman Allah terpancar dan bersinar.
25 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar