Hari ini, aku dan sahabatku mengunjungi sebuah keluarga
Jemaat yang ku layani. Perkunjungan ini merupakan pelayanan rutin yang kami rencanakan
di periode pelayanan ini. Dengan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik,
perkunjungan pun kami laksanakan.
Setibanya di tempat tujuan, perbincangan pun
terjadi. Banyak hal yang menjadi topic perbincangan kami, mulai dari kehidupan
keluarga, pekerjaan bahkan tentang pergumulan-pergumulan yang dihadapi
keluarga. Suasananya mengalir dan suasananya begitu hangat. Hingga akhirnya
kami pun mengakhiri kunjungan itu dengan berdoa bersama.
Namun ada hal yang mengusik hatiku seusai
perkunjungan itu. Dalam perjalanan sahabatku berkata: “Pendeta, hari ini perkunjungan kita berjalan lancar. Kita sudah
berbincang, kita sama-sama berdoa melipat tangan, menutup mata, menundukkan
kepala. Saya percaya banyak hal yang akan terjadi di tengah keluarga mereka”.
Aku memang tak merespon apa-apa saat itu. Tapi aku tersentak dengan ungkapan
beliau. “Apakah ini yang diinginkan Allah
ketika kami berdoa”?
Tak bisa disangkal, bagi segelintir orang doa
sering diartikan dengan melipat tangan, memejamkan mata, menundukkan kepala dan
mengucapkan rangkaian kata-kata. Tapi benarkah bila sampai disini saja peran
kami dalam perkunjungan ini? Sedemikan sederhananyakah makna doa itu? Apakah
benar, doa hanya sebuah sikap tubuh yang memperlihatkan tangan yang terlipat, mata
yang terpejam dan kepala yang tertunduk, dan mulut yang bergerak mengucapkan
rangkaian-rangkaian kata? Wah, kalau memang hanya sebatas itu, betapa kerdil
dan kecilnya doa itu!
Aku sungguh bergumul dengan serangkaian
pertanyaan itu. Kucoba berdiam dan bermenung dengan pertanyaan itu. Kucoba
menariknya ke dalam kehidupanku, merenungkannya dan memperhadapkannya dengan
hal berdoa yang kujalani, kuyakini dan kupahami sebagai hambaNya.
Kenyataannya, memang ketika aku berdoa, tanganku
terlipat, aku memejamkan mata dan menunduk, dari mulutku juga terucap rangkaian
kata-kata. Aku pun menerima pendapat sahabatku itu. Sampai disini memang beliau
tak salah sama sekali. Lalu kupandang diriku, kucoba merenungkan bagaimana aku
berdoa. Sekali lagi, beliau benar! “Lalu,
mengapa aku berlaku begitu”? Kulanjutkan lagi permenunganku.
Bagiku, berdoa merupakan sebuah perjumpaan
dengan Allah yang kudus, berkuasa, dasyat dan menakjubkan. Dalam perjumpaan itu
kurasakan bahwa aku begitu cemar, kecil, kerdil, bukan apa-apa dan bukan
siapa-siapa. Aku sungguh jauh berbeda denganNya. Bak berhadapan dengan Gempa
Bumi berpadu Tsunami yang sekejap saja bisa membuatku binasa. Karena itulah aku
tunduk! Aku katakan, Kepalaku tertunduk sebab aku takut, sebab aku sungguh
berbeda denganNya. Pun selanjutnya, kulipat tanganku, sebab aku tak mau
kelihatan ‘asal’ dihadapanNya. Kusimpulkan mengapa aku tertunduk, melipat
tanganku: “itulah yang bisa kuungkapkan
dengan tubuhku bahwa aku menakutiNya”.
Disamping itu, aku juga menyadari bahwa dalam
doa, aku juga bertemu dengan Kuasa Allah yang baik, menentramkan dan
mengasihiku. Dihadapan Kuasa itu aku merasa begitu damai, senang dan bahagia.
Aku begitu menyukai Kuasa itu. Karena Dia baik, berkuasa dan mengasihi itulah
maka dari mulutku keluarlah pujian dan permohonan. Itu semua kurangkaikan dalam
bentuk kata-kata. Demikianlah bagiku, doa merupakan rangkaian kata-kata. Namun
bukan kata-kata yang ‘klise’, melainkan sebuah ungkapan percaya bahwa Dia
berkuasa dan pantas bagiku memuji dan bermohon kepadaNya. Bukan sebab begitulah
gerak lazimnya.
Selanjutnya dalam permenunganku. Aku
menjumpaiNya dalam doaku! Aku mau menjalin hubungan dan mengikatkan diri
denganNya sebagai seorang suruhanNya. Yang kupahami, bahwa Dia yang kujumpai
itu adalah sosok yang tak terbatas. Matius 25:35-36 menuturkan bahwa Dia juga
hadir dalam rupa sesamaku yang lapar dan butuh makanan, yang haus dan
mengharapkan minum, sebagai seorang asing yang butuh tumpangan, orang yang telanjang
dan memerlukan pakaian, orang yang sakit dan butuh lawatan, orang yang
terpenjara dan mengharapkan kunjungan. Jadi, berdoa bagiku juga berarti
menjumpai dan menjalin hubungan dengan mereka. Dengan itu, ketika aku berdoa, kusadari
bahwa sejatinya aku tengah dipanggil untuk menjumpai dan melibatkan diri dengan
mereka. Aku dipanggil dan disuruhNya untuk bergulat meninggalkan duniaku, lalu
berkecimpung dalam duniaNya melalui sesamaku. Saat ini aku tengah berjalan
untuk itu!
Karena itu, bagiku, berdoa memang harus melipat
tangan. Tapi itu belum usai! Itu baru sebagian! Sebab doa tak hanya melipat
tangan agar tidak ‘asal’ dihadapanNya, tapi juga berarti membuka tangan dan
bahkan harus turun tangan untuk memberi makan bagi mereka yang lapar, member
minum bagi yang kehausan, member tumpangan bagi mereka yang terasing, member
lawatan bagi mereka yang terpenjara, dan ragam tindakan nyata lainnya yang pro
kehidupan.
Aku memang perlu memejamkan mata saat berdoa
agar semakin merasakan hadiratNya yang sungguh amat Kudus. Akan tetapi ini
merupakan awal. Jangan lupa untuk membuka mata dan melihat kenyataan hidup yang
terbentang dimana kita hidup dan berdoa. Sebab, sama halnya dengan manusia yang
mati yang matanya tetap terpejam, demikianlah orang yang berdoa yang tak mau
membuka matanya untuk menatap kenyataan kehidupan dan berusaha berkontribusi
positif di dalamnya.
Tetaplah berdoa dengan menundukkan kepala
sebagai ungkapan takut akan Dia, yang tak berani melawan perintah dan
suruhanNya. Teruslah mengungkapkan doa dengan kata-kata sebab dengan itulah
kamu memuji dan bermohon. Tapi jangan berhenti disitu. Biarlah kata-kata itu
juga menjadi sebuah jawaban dan pertanggungjawaban atas perintah dan suruhaNya.
Maka, benarkah berdoa sebatas tanganku
terlipat, aku memejamkan mata dan menunduk, dari mulutku juga terucap rangkaian
kata-kata? Sudahkah kita berdoa bagi mereka? Mari menyimpulkan sendiri! Kataku
untukmu: “Sahabatku, tugas kita belum
usai! Kita baru memulai! Masih banyak perkara yang belum kita tuntaskan”.
Karena itu, bersiap sedialah untuk memainkan peran kita dalam episode
selanjutnya. Tuhan tengah menanti doa dan karya kita bagi JemaatNya. Mari kita
sama-sama berdoa bagi mereka yang kita kunjungi hari ini. Sebab Allah menunggu
pertanggungjawaban kita sebagai HambaNya!
Selamat Melayani Sahabatku…