ALLAH
MENDENGAR DAN MEMBEBASKAN ORANG YANG TERTINDAS
Mazmur
34:1-8
34:1 Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi. 34:2 Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. 34:3 Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. 34:4 Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! 34:5 Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. 34:6 Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu. 34:7 Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya. 34:8 Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.
Ketika membaca Mazmur ini dan
memperhatikan apa yang diuraikan pada ayat 1, “Dari Daud, pada waktu ia pura-pura
tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi.” Segera muncul pertanyaan dalam benak saya: Mengapa Daud sampai di hadapan Abimelekh? Mengingat Daud adalah seorang raja, Apakah sikap berpura-pura
gila yang
dilakukan Daud itu mencerminkan martabat
seorang raja yang menang menaklukkan raksasa Filistin? Apakah dengan berpura-pura gila Allah dipermuliakan
dan apakah dengan itulah Daud lepas dari bahaya? Bagaimana mungkin kesaksian
seorang yang berpura-pura (berdusta) menjadi kesaksian yang patut dipercaya?
Oleh karena
itu, untuk memahami Mazmur 34 ini baiknya kita menghubungkannya dengan
penuturan 1 Samuel 21 dan Mazmur 56. Dari pengamatan saya, melalui penuturan 1
Samuel 21 dan Mazmur 56 kita akan segera memahami sebuah rangkaian peristiwa yang melatarbelakngi Mazmur 34 ini. Secara singkat rangkaian peristiwa itu
adalah: Karena takut
kepada Saul, Daud melarikan diri ke Gat. Ia berusaha tinggal di Gad dengan menyembunyikan identitasnya, namun persembunyiannya itu segera terungkap (Bnd. 1 Sam. 21:11).
Ketika raja Gad (Akhis yang bergelar Abimelekh) mengetahui identitas Daud, ia pun segera menangkapnya (Bnd. Mzm.
56:1). Daud pun di tahan di Gad. Dan disinilah Daud mulai merenungkan situasinya dan menyadari ia ada
dalam bahaya maut, ia menjadi takut (Bnd. 1 Sam. 21:12).
Itulah sebabnya Daud kemudian berlaku seperti orang gila dan diusir dari Gat. Dalam 1 Samuel 22 dituturkan bahwa setelah diusir dari Gad, Daud melarikan
diri ke gua Adulam (1 Sam. 22:1)
Belajar dari
seluruh rangkaian peristiwa itu, tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa
situasi Daud saat itu berada dalam tekanan batin, ketakutan dan depresi yang
luar biasa. Ia membutuhkan pendampingan dan pertolongan. Persoalannya: apakah
dalam situasi yang demikian kemudian Allah mengirimkan orang-orang untuk
mendampingi dan menghibur Daud? Ternyata, jika kita menyimak kembali penuturan
dalam 1 Samuel 22 (Daud di gua Adulam) Allah bukannya mengirimkan bala tentara
atau psikolog untuk menenangkan Daud. Dituturkan bahwa yang datang menghampiri
Daud adalah sanak saudaranya. Mereka datang dan bergabung dengan Daud justru
karena mereka sedang dalam keadaan terancam. Kemudian disusul orang-orang yang
berda dalam kesukaran, orang-orang yang dikejar hutang dan orang-orang yang
sakit hati (1 Sam. 22:1-2). Singkatnya, mereka yang datang adalah orang yang
justru meminta pertolongan Daud.
Di sinilah Daud
mengalami sebuah terapi penyembuhan yang paradox (paradoxal therapy) dari Allah. Allah mendampingi Daud dengan cara
mengirim orang-orang yang memerlukan pendampingan. Dan Allah menghibur Daud
dengan memberikan kesempatan baginya untuk menghibur orang lain. Disini, Allah
mengubah objek menjadi subjek. Allah melibatkan Daud (yang adalah naradidik)
dalam proses penyembuhan dan pendampingan bagi dirinya sendiri. Dia mengubah
Daud yang semula merasa sebagai penerima (pasif) menjadi pemberi (aktiv). Terapi
ini berhasil. Hasilnya, Daud yang semula sibuk meratapi kesedihannya beralih
menjadi sibuk menolong orang-orang yang datang kepadanya. Disinilah Daud
mengalami kesembuhan dan peran
kepemimpinannya pun menjadi terasah. Ia menjadi pemimpin mereka yang jumlahnya
kira-kira empat ratus orang (1 Sam. 22:2).
Di gua
Adulam ini pula Daud berefleksi dan mengingat kembali peristiwa-peristiwa masa lalunya dan menyadari bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah (bertindak berdasarkan rasa takut
kepada manusia dan bukan kepada Tuhan) (Bnd. Mzm. 56:3-4, 10-11). Berdasarkan refleksi ini ia mengambil sikap merendahkan diri di hadapan Allah dan menulis Mazmur
56 sebagai pengakuannya dan ikrar imannya. Dan kemudian
ia juga menulis Mazmur 34 untuk memuji Allah karena membebaskannya (meskipun ia telah
berbohong dan berdosa) dan mengajarkan prinsip untuk terus “takut kepada Tuhan” yang telah dipelajari Daud melalui pengalamannya
yang menyakitkan.
Jadi, dalam
menafsirkan Mazmur 34 ini, kita memerlukan terang penyingkapan tambahan dari Mazmur 56. Kita tidak
perlu menapikkan segala kesalahan atau dosa Daud dalam keputusannya sebelumnya.
Karena ini merupakan bagian dari proses yang harus kita pahami sebab melalui
proses itulah kemudian Daud mengakuinya dan mengungkapkan pembaharuan imannya kepada Tuhan.
Dengan demikian,
ketika kita
membaca Mazmur 34 ini, maka kita mengerti bahwa Mazmur ini ditulis oleh seorang Daud yang telah menjalani proses kehidupan yang panjang dan dengan itu ia mengakui dosanya dan mengalami pembaharuan dari Allah. Kepercayaan yang Daud sebutkan dalam Mazmur 34 adalah
yang ditegaskannya kembali dalam Mazmur 56. Kunci untuk kita memahami hubungan Mazmur
34 dan 1 Samuel 21 adalah bahwa Daud diampuni dan
diperbaharui imannya sebagai hasil dari pengalamannya yang diuraikan dalam Mazmur
56.
Mazmur ini dimulai dengan suatu ikrar atau komitmen iman Daud: “Aku hendak memuji
Tuhan pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku” (Ay.
2). Di sini Daud berjanji dan berkomitmen untuk senantiasa memuji Allah-nya. Komitmen
atau janji ini lahir dari sebuah peristiwa khusus di dalam hidupnya, dan dilaksanakan terus-menerus. Ini seharusnya dimengerti bahwa Daud tidak menjanjikan suatu
waktu pujian secara maraton, namun lebih sebagai komitmen dirinya sendiri untuk
memuji Tuhan pada setiap kesempatan dan di tengah-tengah berbagai keadaan
pikiran, roh dan tubuh. Daud berkomitmen dan berjanji untuk memuji Allah senantiasa.
Pada Mazmur
34:2 Daud memberikan tendensi pada frekwensi pujian, dan pada
Mazmur 34:3a ia menyatakan fokus dari pujian tersebut. Jiwanya akan “bermegah karena TUHAN” (ay. 3a). Disini Daud tidak lagi berkitat
pada pengalamannya, atau kelepasannya,
namun ia sudah mengarahkan dirnya pada Allah Pembebasnya. Sehingga Daud hendak mengatakan bahwa Tuhanlah yang menjadi subyek dan obyek dari pujiannya. Ia memuji Allah pada segala waktu karena dan bagi Allah.
Ayat-ayat 3b dan 4 mengingatkan kita akan kebersamaan
atau persekutuan dalam pujian. Pujian bisa dilakukan
secara pribadi, namun mazmur ini bukanlah jenis mazmur yang demikian. Ketika Daud berada di muka umum memuji Tuhan waktu ibadah, ia bertujuan
untuk mempromosikan ibadah bagi seluruh jemaat. Mereka yang mengasihi Tuhan, seperti
Daud, dapat memuliakan Dia bersama-sama dengan dia. Ajaran Paulus dalam Roma
pasal 12 menunjukkan bahwa ibadah Perjanjian Baru seharusnya menjadi saling
berbagi sukacita dari para orang Kristen: “Bersukacitalah dengan orang yang
bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis” (Rm. 12:15). Oleh karena itu Daud mengajak
rekan-rekannya untuk bergabung dengannya dalam memuliakan Tuhan sehingga
nama-Nya dimasyhurkan (ay.4).
Hal memuji Tuhan yang diuraikan
dalam mazmur
ini dapat dibagi menjadi dua tema utama yakni Perbuatan-perbuatan
Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Karya-karya Tuhan yang luar biasa merupakan dasar
dari pujian. Dalam ayat-ayat 5-8 Daud menguraikan kelepasannya, yang merupakan
dasar dari pujian dan pengajarannya dalam Mazmur ini. Dan di
dalamnya Daud juga menguraikan bahwa Allah adalah Allah yang aktif menjawab dan
melepaskan (Ay. 5), mendengar dan menyelamatkan (Ay. 7).
Berdasarkan
uraian di atas kita bisa menjempit beberapa pesan rohani :
1. Ungkapan Bijak mengatakan: “Masa
lalu berisi pelajaran, masa kini mengandung realitas dan tantangan, masa depan adalah harapan”. Di masa lalu, kita memang mungkin pernah mengambil keputusan yang salah dan menimbulkan banyak korban. Sebagai orang percaya hendaklah itu semua menjadi pelajaran yang
menunjang pertumbuhan iman. Jangan sekedar menyesal. Akuilah semuanya itu di hadapan Tuhan dan
lakukanlah seperti yang dilakukan oleh Daud, dengan bertindak secara dewasa.
Dan Tuhan akan menyatakan pertolongan-Nya dalam kehidupan kita.
2. Kesalahan bukanlah sarana
bagi kita untuk
menghukum diri, mempersalahkan diri, atau memberi kesempatan kepada iblis untuk
menuduh diri kita. Akui kesalahan kita di hadapan Tuhan. Setelah kita
mengaku dihadapan Tuhan dan jangan jatuh lagi. Belajarlah dari pengalaman
yang lalu.
3. Mazmur ini menguraikan pengalaman iman Daud bahwa Allah adalah Allah yang
aktif menjawab dan melepaskan (Ay. 5), mendengar dan menyelamatkan (Ay. 7). Hanya
saja, jangan pernah ‘membatasi’ cara Allah dalam menjawab dan melepaskan,
mendengar dan menyelamatkan. Sebab kesaksian Daud dalam Mazmur ini
menyingkapkan cara Allah yang tek terbatas dalam mendampingi dan menyembuhkan anakNya.
Bentuk pertolongan dan pendampingan Allah belum tentu sejalan dengan apa yang
kita bayangkan. Dau meminta Allah mengirim orang-orang untuk menghibur dan
mendampinginya. Tapi Allah mendengar dan menjawab permohonannya dengan mengirim
orang-orang yang membutuhkan pendampingan dan pertolongannya. Sebab, justru
dengan mendampingi dan menghibur orang lain, Daud menjadi terhibur dan semakin
kuat.
4. Tiap orang sekali waktu
memang perlu berada di pihak penerima: menerima pendampingan, penghiburan,
pertolongan, dsb. Akan tetapi pengalaman iman Daud yang diuraikannya dalam
Mazmur ini mengajarkan kepada kita bahwa tak ada guna kita berlama-lama dalam
situasi itu. Segeralah beranjak, bangkit dan bertumbuh melalui setiap proses
yang terjadi dalam hidup kita. Hati-hati! Berlama-lama dalam pihak penerima
akan membawa kita pada sikap “mengasihani diri sendiri” yang sering disebut
saat ini dengan selfy (self pity). Akibatnya
kita cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Lalu kecewa dengan orang lain
yang tidak mengasihi dia. Akibat selanjutnya adalah makin merasa kasihan
terhadap diri sendiri. Ini lingkaran setan yang membentuk hidup yang
egosentris.
5. Self pity atau mengasihani
diri akan menutup mata rohani kita pada kasih Allah. Akibatnya, mata rohani kita akan dibutakan untuk melihat karya Allah
yang senantiasa mendengar dan membebaskan. Sekaligus, hal ini akan membuat kita
semakin enggan untuk memuji dan bersyukur kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar