Selasa, 04 Agustus 2015

Khotbah Minggu X setelah Trinitatis, 9 Agustus 2015



ALLAH MENDENGAR DAN MEMBEBASKAN ORANG YANG TERTINDAS
Mazmur 34:1-8

34:1 Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi. 34:2 Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. 34:3 Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. 34:4 Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! 34:5 Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. 34:6 Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu. 34:7 Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya. 34:8 Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.


Ketika membaca Mazmur ini dan memperhatikan apa yang diuraikan pada ayat 1, “Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi.” Segera muncul pertanyaan dalam benak saya: Mengapa Daud sampai di hadapan Abimelekh? Mengingat Daud adalah seorang raja, Apakah sikap berpura-pura gila yang dilakukan Daud itu mencerminkan martabat seorang raja yang menang menaklukkan raksasa Filistin? Apakah dengan berpura-pura gila Allah dipermuliakan dan apakah dengan itulah Daud lepas dari bahaya? Bagaimana mungkin kesaksian seorang yang berpura-pura (berdusta) menjadi kesaksian yang patut dipercaya?

Oleh karena itu, untuk memahami Mazmur 34 ini baiknya kita menghubungkannya dengan penuturan 1 Samuel 21 dan Mazmur 56. Dari pengamatan saya, melalui penuturan 1 Samuel 21 dan Mazmur 56 kita akan segera memahami sebuah rangkaian peristiwa yang melatarbelakngi Mazmur 34 ini. Secara singkat rangkaian peristiwa itu adalah: Karena takut kepada Saul, Daud melarikan diri ke Gat. Ia berusaha tinggal di Gad dengan menyembunyikan identitasnya, namun persembunyiannya itu segera terungkap (Bnd. 1 Sam. 21:11). Ketika raja Gad (Akhis yang bergelar Abimelekh) mengetahui identitas Daud, ia pun segera menangkapnya (Bnd. Mzm. 56:1). Daud pun di tahan di Gad. Dan disinilah Daud mulai merenungkan situasinya dan menyadari ia ada dalam bahaya maut, ia menjadi takut (Bnd. 1 Sam. 21:12). Itulah sebabnya Daud kemudian berlaku seperti orang gila dan diusir dari Gat. Dalam 1 Samuel 22 dituturkan bahwa setelah diusir dari Gad, Daud melarikan diri ke gua Adulam (1 Sam. 22:1)

Belajar dari seluruh rangkaian peristiwa itu, tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa situasi Daud saat itu berada dalam tekanan batin, ketakutan dan depresi yang luar biasa. Ia membutuhkan pendampingan dan pertolongan. Persoalannya: apakah dalam situasi yang demikian kemudian Allah mengirimkan orang-orang untuk mendampingi dan menghibur Daud? Ternyata, jika kita menyimak kembali penuturan dalam 1 Samuel 22 (Daud di gua Adulam) Allah bukannya mengirimkan bala tentara atau psikolog untuk menenangkan Daud. Dituturkan bahwa yang datang menghampiri Daud adalah sanak saudaranya. Mereka datang dan bergabung dengan Daud justru karena mereka sedang dalam keadaan terancam. Kemudian disusul orang-orang yang berda dalam kesukaran, orang-orang yang dikejar hutang dan orang-orang yang sakit hati (1 Sam. 22:1-2). Singkatnya, mereka yang datang adalah orang yang justru meminta pertolongan Daud.

Di sinilah Daud mengalami sebuah terapi penyembuhan yang paradox (paradoxal therapy) dari Allah. Allah mendampingi Daud dengan cara mengirim orang-orang yang memerlukan pendampingan. Dan Allah menghibur Daud dengan memberikan kesempatan baginya untuk menghibur orang lain. Disini, Allah mengubah objek menjadi subjek. Allah melibatkan Daud (yang adalah naradidik) dalam proses penyembuhan dan pendampingan bagi dirinya sendiri. Dia mengubah Daud yang semula merasa sebagai penerima (pasif) menjadi pemberi (aktiv). Terapi ini berhasil. Hasilnya, Daud yang semula sibuk meratapi kesedihannya beralih menjadi sibuk menolong orang-orang yang datang kepadanya. Disinilah Daud mengalami kesembuhan dan  peran kepemimpinannya pun menjadi terasah. Ia menjadi pemimpin mereka yang jumlahnya kira-kira empat ratus orang (1 Sam. 22:2).

Di gua Adulam ini pula Daud berefleksi dan mengingat kembali peristiwa-peristiwa masa lalunya dan menyadari bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah (bertindak berdasarkan rasa takut kepada manusia dan bukan kepada Tuhan) (Bnd. Mzm. 56:3-4, 10-11). Berdasarkan refleksi ini ia mengambil sikap merendahkan diri di hadapan Allah dan menulis Mazmur 56 sebagai pengakuannya dan ikrar imannya. Dan kemudian ia juga menulis Mazmur 34 untuk memuji Allah karena membebaskannya (meskipun ia telah berbohong dan berdosa) dan mengajarkan prinsip untuk terus “takut kepada Tuhan” yang telah dipelajari Daud melalui pengalamannya yang menyakitkan.

Jadi, dalam menafsirkan Mazmur 34 ini, kita memerlukan terang penyingkapan tambahan dari Mazmur 56. Kita tidak perlu menapikkan segala kesalahan atau dosa Daud dalam keputusannya sebelumnya. Karena ini merupakan bagian dari proses yang harus kita pahami sebab melalui proses itulah kemudian Daud mengakuinya dan mengungkapkan pembaharuan imannya kepada Tuhan.

Dengan demikian, ketika kita membaca Mazmur 34 ini, maka kita mengerti bahwa Mazmur ini ditulis oleh seorang Daud yang telah menjalani proses kehidupan yang panjang dan dengan itu ia mengakui dosanya dan mengalami pembaharuan dari Allah. Kepercayaan yang Daud sebutkan dalam Mazmur 34 adalah yang ditegaskannya kembali dalam Mazmur 56. Kunci untuk kita memahami hubungan Mazmur 34 dan 1 Samuel 21 adalah bahwa Daud diampuni dan diperbaharui imannya sebagai hasil dari pengalamannya yang diuraikan dalam Mazmur 56.

Mazmur ini dimulai dengan suatu ikrar atau komitmen iman Daud: “Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku” (Ay. 2). Di sini Daud berjanji dan berkomitmen untuk senantiasa memuji Allah-nya. Komitmen atau janji ini lahir dari sebuah peristiwa khusus di dalam hidupnya, dan dilaksanakan terus-menerus. Ini seharusnya dimengerti bahwa Daud tidak menjanjikan suatu waktu pujian secara maraton, namun lebih sebagai komitmen dirinya sendiri untuk memuji Tuhan pada setiap kesempatan dan di tengah-tengah berbagai keadaan pikiran, roh dan tubuh. Daud berkomitmen dan berjanji untuk memuji Allah senantiasa.

Pada Mazmur 34:2 Daud memberikan tendensi pada frekwensi pujian, dan pada Mazmur 34:3a ia menyatakan fokus dari pujian tersebut. Jiwanya akan “bermegah karena TUHAN” (ay. 3a). Disini Daud tidak lagi berkitat pada pengalamannya, atau kelepasannya, namun ia sudah mengarahkan dirnya pada Allah Pembebasnya. Sehingga Daud hendak mengatakan bahwa Tuhanlah yang menjadi subyek dan obyek dari pujiannya. Ia memuji Allah pada segala waktu karena dan bagi Allah.

Ayat-ayat 3b dan 4 mengingatkan kita akan kebersamaan atau persekutuan dalam pujian. Pujian bisa dilakukan secara pribadi, namun mazmur ini bukanlah jenis mazmur yang demikian. Ketika Daud berada di muka umum memuji Tuhan waktu ibadah, ia bertujuan untuk mempromosikan ibadah bagi seluruh jemaat. Mereka yang mengasihi Tuhan, seperti Daud, dapat memuliakan Dia bersama-sama dengan dia. Ajaran Paulus dalam Roma pasal 12 menunjukkan bahwa ibadah Perjanjian Baru seharusnya menjadi saling berbagi sukacita dari para orang Kristen: “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis” (Rm. 12:15). Oleh karena itu Daud mengajak rekan-rekannya untuk bergabung dengannya dalam memuliakan Tuhan sehingga nama-Nya dimasyhurkan (ay.4).

Hal memuji Tuhan yang diuraikan dalam mazmur ini dapat dibagi menjadi dua tema utama yakni Perbuatan-perbuatan Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Karya-karya Tuhan yang luar biasa merupakan dasar dari pujian. Dalam ayat-ayat 5-8 Daud menguraikan kelepasannya, yang merupakan dasar dari pujian dan pengajarannya dalam Mazmur ini. Dan di dalamnya Daud juga menguraikan bahwa Allah adalah Allah yang aktif menjawab dan melepaskan (Ay. 5), mendengar dan menyelamatkan (Ay. 7).

Berdasarkan uraian di atas kita bisa menjempit beberapa pesan rohani :
1.      Ungkapan Bijak mengatakan: “Masa lalu berisi pelajaran, masa kini mengandung realitas dan tantangan,  masa depan adalah harapan”. Di masa lalu, kita memang mungkin pernah mengambil keputusan yang salah dan menimbulkan banyak korban. Sebagai orang percaya hendaklah itu semua menjadi pelajaran yang menunjang pertumbuhan iman. Jangan sekedar menyesal. Akuilah semuanya itu di hadapan Tuhan dan lakukanlah seperti yang dilakukan oleh Daud, dengan bertindak secara dewasa. Dan Tuhan akan menyatakan pertolongan-Nya dalam kehidupan kita.
2.    Kesalahan bukanlah sarana bagi kita untuk menghukum diri, mempersalahkan diri, atau memberi kesempatan kepada iblis untuk menuduh diri kita. Akui kesalahan kita di hadapan Tuhan.  Setelah kita mengaku dihadapan Tuhan dan jangan jatuh lagi.  Belajarlah dari pengalaman yang lalu.
3.       Mazmur ini menguraikan pengalaman iman Daud bahwa Allah adalah Allah yang aktif menjawab dan melepaskan (Ay. 5), mendengar dan menyelamatkan (Ay. 7). Hanya saja, jangan pernah ‘membatasi’ cara Allah dalam menjawab dan melepaskan, mendengar dan menyelamatkan. Sebab kesaksian Daud dalam Mazmur ini menyingkapkan cara Allah yang tek terbatas dalam mendampingi dan menyembuhkan anakNya. Bentuk pertolongan dan pendampingan Allah belum tentu sejalan dengan apa yang kita bayangkan. Dau meminta Allah mengirim orang-orang untuk menghibur dan mendampinginya. Tapi Allah mendengar dan menjawab permohonannya dengan mengirim orang-orang yang membutuhkan pendampingan dan pertolongannya. Sebab, justru dengan mendampingi dan menghibur orang lain, Daud menjadi terhibur dan semakin kuat.
4.   Tiap orang sekali waktu memang perlu berada di pihak penerima: menerima pendampingan, penghiburan, pertolongan, dsb. Akan tetapi pengalaman iman Daud yang diuraikannya dalam Mazmur ini mengajarkan kepada kita bahwa tak ada guna kita berlama-lama dalam situasi itu. Segeralah beranjak, bangkit dan bertumbuh melalui setiap proses yang terjadi dalam hidup kita. Hati-hati! Berlama-lama dalam pihak penerima akan membawa kita pada sikap “mengasihani diri sendiri” yang sering disebut saat ini dengan selfy (self pity). Akibatnya kita cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Lalu kecewa dengan orang lain yang tidak mengasihi dia. Akibat selanjutnya adalah makin merasa kasihan terhadap diri sendiri. Ini lingkaran setan yang membentuk hidup yang egosentris.
5.      Self pity atau mengasihani diri akan menutup mata rohani kita pada kasih Allah. Akibatnya, mata rohani  kita akan dibutakan untuk melihat karya Allah yang senantiasa mendengar dan membebaskan. Sekaligus, hal ini akan membuat kita semakin enggan untuk memuji dan bersyukur kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar