KONTRIBUSI PENDETA/ PENGINJIL
GKPS DALAM MEWUJUDKAN VISI DAN
MISI GKPS
1. Pendahuluan
Pada Sinode Bolon GKPS Ke-40 (29 Juni-4 Juli 2010) di
Pematangsiantar diputuskan visi dan misi GKPS 2030. Visi GKPS 2030: Menjadi
Gereja Pembawa Berkat dan Kepedulian/ To
be a blessing and a caring church/ Gabe gereja siboan pasu-pasu janah sari
(Kej. 12:2; Luk. 10:37). Dan Misi GKPS menuju 2030 adalah:
1.
Mengembangkan dan memperdalam
spiritualitas yang berpusat kepada Allah.
2.
Melaksanakan persekutuan,
kesaksian dan pelayanan secara benar berdasarkan Alkitab.
3.
Membangun kesetiakawanan,
kepedulian sosial dan ekonomi berbasiskan Injil.
4. Meningkatkan kecintaan semangat
gotong royong di kalangan jemaat dan masyarakat (haroan bolon, sapangambei manoktok hitei).
5.
Menumbuhkembangkan cinta kasih
kepada sesama dan keutuhan ciptaan.
Sejalan dengan visi di atas, pada tahun 2030, GKPS
diharapkan menjadi Gereja pembawa berkat (lembaga gereja yang menjadi berkat).
Menjadi lembaga yang menjadi berkat artinya, GKPS akan menjadi lembaga berkarakter
positif (memenuhi kriteria lembaga gereja yang berkwalitas unggul) dan kompeten
dalam menguatkan serta membawa pembaruan lingkungan sekitarnya. GKPS juga akan
mempu menjadi pelopor, motivator dan inovator serta menjaadi fasilitator
seluruh jemaat dan sesamanya dalam meningkatkan kualitas hidup sebagai umat
Kristen Indonesia.
Inilah gambaran GKPS pada tahun 2030.
Kontribusi (Ing. Contribute,
contribution) secara sederhana diartikan dengan ‘sumbangan’. Dengan kaitannya
dengan judul di atas, maka pada makalah ini akan dibicarakan soal sumbangan
pendeta/penginjil GKPS untuk mewujudkan GKPS sebagai gereja pembawa berkat dan
peduli pada tahun 2030. Sumbangsih apa yang akan diberikan pendeta/penginjil GKPS untuk menjadikan GKPS
menjadi lembaga gereja yang berkarakter positif dan kompeten dalam mendorong
peningkatan kualitas hidup jemaat dan sesamanya sebagai umat Kristen Indonesia
yang sejati.
2. Gambaran GKPS saat ini.
GKPS adalah gereja yang dipanggil dan diutus Allah di tengah-tengah
dunia ini. Ia berada dan terjadi bukan karena inisiatif manusia, tapi atas
inisiatif Allah dalam rangka misi penyelamatan-Nya di tengah-tengah dunia.
Hakekat keberadaan gereja bersumber pada misi Allah. Misi Allah melalui GKPS
bermula ketika Injil dibawa masuk oleh Pdt. Agust Thais pada 2 September 1903.
Sejak itu, misi Allah tarsus berjalan, hingga pada tanggal 1 September 1963
Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) berdiri sendiri dan terpisah (manjae) dari HKBP dan berganti nama
menjadi gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Sejak masuknya Injil ke
Simalungun (1903) sampai saat ini terjadi pertumbuhan jemaat GKPS.
Pertumbuhan jemaat GKPS dari waktu ke waktu terus berjalan. Melalui data
statistik yang disampaikan Pimpinan Pusat GKPS dalam Laporan Pertanggungjawabannya
kepada Sinode Bolon ke-40, kita dapat melihat gambaran bahwa jumlah jemaat GKPS
sampai Mei 2010
mencapai 218.170 jiwa (52.734 KK yang terdiri dari 42.511 tangga banggal dan
10.223 tangga etek), yang bersekutu dalam 628 jemaat, 115 resort dan 7 distrik
yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali. Anggota jemaat ini
dilayani oleh 7995 pelayan yang terdiri dari: 181 orang Pendeta, 79 orang
Penginjil, 35 orang Vikar Pendeta, 6 orang vikar Penginjil, 4.279 orang Sintua
dan 3.415 orang Syamas. Data ini memberikan informasi kepada kita bahwa seorang
pelayan GKPS melayani 26 jiwa, dan seorang pelayan melayani 6 rumah tangga. Keadaan
ini memperlihatkan gambaran bahwa medan pelayan
yang dihadapi GKPS tersebar luas hampir ke seluruh Indonesia.
Pelayanan seorang pelayan erat hubungannya dengan kesediaan jemaat untuk
turut ambil bagian dalam setiap aktivitas gereja. Semakin ia merasakan sentuhan
pelayanan makan seiring dengan itu, kesediannanya untuk mengikuti
aktivitas-aktivitas gereja juga akan semakin besar. Sejalan dengan itu, data
statistik memperlihatkan bahwa keikutsertaan jemaat GKPS dalam
aktivitas-aktivitas gereja masih perlu untuk ditingkatkan. Misalnya saja dalam
jumlah kehadiran jemaat dalam ibadah Minggu, partonggoan dan Horja Banggal
Napansing (HBN), data menunjukkan dari 218.170 jiwa jumlah anggota jemaat GKPS,
yang mengikuti kebaktian Minggu persentase kehadirannya berkisar 46%,
partonggoan 30,5 % dan Sakramen Perjamuan Kudus (HBN) berkisar 43,1%. Keadaan
ini paling tidak memperlihatkan dua hal, pertama, kesediaan dan kesadaran
anggota jemaat untuk ambil bagian dalam aktivitas bergereja masih rendah.
Kedua, pelayanan yang dilakukan para pelayan di GKPS masih perlu untuk dikaji
kembali menuju pelayanan yang menyentuh hati.
Dalam pembukaan tata gereja GKPS dikatakan bahwa hadirnya Injil di
Simalungun (GKPS) adalah anugerah Allah yang menyelamatkan, memanggil dan
mengantar Simalungun dari kegelapan kepada terang Firman Tuhan.
Artinya, GKPS hadir ditengah-tengah warga dan budaya Simalungun. Hasimalungunon itu menjadi keunikan
tersendiri dari GKPS. Keadaan memperlihatkan bahwa sebagian besar warga jemaat
GKPS adalah suku Simalungun walaupun ada beberapa yang berasal dari suku lain.
Ini memunculkan harapan agar GKPS tampil sebagai lembaga yang tetap
mempertahankan budaya dan bahasa Simalungun. Sebab tidak dapat dipungkiri
kerinduan Jemaat untuk menjadi bagian GKPS tidak hanya terbatas pada persoalan
iman, tapi juga dipengaruhi oleh kerinduan akan budaya dan bahasa Simalungun. Seiring
dengan perkembangannya, GKPS sudah
menjangkau wilayah-wilayah yang memiliki tradisi dan budaya lain. dengan
demikian, GKPS dipastikan akan bersentuhan dengan tradisi dan kebudayaan lain. Sebagai
gereja yang bersentuhan dengan budaya dan tradisi lain GKPS diharapkan mampu
memainkan peran penting bagi dalam pelestarian budaya Simalungun.
Upaya ini diperlihatkan penggunaan bahasa Simalungun dalam kebaktian-kebaktian
yang diselenggarakan GKPS. Akan tetapi, masih banyak warga jemaat yang kurang
masih tidak memakainya secara khusus generasi muda di wilayah perkotaan. Ini
merupakan gejala yang harus segera diantisipasi agar GKPS tidak kehilangan
keunikan dan ciri khasnya.
Keragaman lain yang juga turut mewarnai keberadaan GKPS adalah keragaman
tingkat perekonomian dan pendidikan serta karakter. Dalam sisi ekonomi,
berdasarkan survei Pelpem GKPS tahun 2009 lalu, terdapat gambaran bahwa
sebagian besar jemaat GKPS masih berada kategori miskin (secara khusus di
wilayah-wilayah pedesaan di daerah basis Simalungun). Hal yang menjadi tolak
ukurnya adalah pendapatan rata-rata masyarakat yang masih relatif rendah (+
Rp. 1.200.000) sementara kebutuhan keluarga relatif tinggi. Hal ini dipengaruhi
berbagai faktor antara lain: tidak dimilikinya kemampuan/ keterampilan khusus
sehingga hanya mampu bekerja pada sektor yang turun-temurun dan dilakoni orang
kebanyakan yaitu pertanian yang sifatnya konvensional. Tidak adanya menejemen
usaha yang jelas sehingga sifatnya hanya mengalir. Dan minimnya upaya untuk
memperbaiki status ekonominya.
Keadaan ini tentunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang ada di
tengah-tengah masyarakat.
Dalam perkembangannya, dalam rangka meningkatkan sentuhan pelayanan
kepada jemaat, GKPS saat ini sudah berupaya mengoptimalkan pelayanan kepada
jemaat melalui pembentukan badan-badan pelayan misalnya, Badan Pendidikan,
Badan Kesehatan, Panti Karya Remaja GKPS Vocationan Training Centre, Rumah
sakit (RS GKPS Pematang Raya, RS GKPS Bethesda Saribudolok), Pelpem, Komite
Intei HIV/ AIDS, Women Crisis Centre, Panti Asuhan BKM GKPS, JPIC, dan tim
Advokasi/ Biro Hukum GKPS.
3. Kecenderungan Global, Nasional dan Keagamaan
20 Tahun Mendatang
GKPS hidup dan melayani di tengah-tengah dunia yang dinamis. Sejalan
dengan itu, pelayanan yang dilakukan oleh GKPS (dalam hal ini Pendeta dan
Penginjil) diharapkan terus up to date
dengan harapan pelayanan yang dilakukan benar-benar ‘membumi’ dan dengan
demikian kehadiran GKPS sebagai garam dan terang semakin terasa. Untuk itu,
dalam upaya pelayanan yang sejurus dengan visi dan misi di atas, seorang
pelayan (Pendeta dan Penginjil) diharapkan melakukan identifikasi terhadap kecenderungan-kecenderungan
yang ada baik dalam skala global, nasional maupun kecenderungan keberagamaan.
Karena dinamika zaman cepat atau lambat akan mempengaruhi kondisi jemaat dan
juga turut mempengaruhi style
pelayanan yang akan diterapkan. Dan dengan itu pelayanan yang dilaksanakan
benar-benar menjadi berkat.
a. Kecenderungan
perubahan global/ internasional
1. Perubahan semakin cepat dalam segala aspek kehidupan
sebagai konsekwensi dari pesatnya perkembangan teknologi informasi,
transportasi dan komputerisasi. Hal ini berdampak pada tuntutan peningkatan
daya adaptasi bagi lembaga dan individu. Ketidakmampuan beradaptasi berarti
kehancuran bagi individu atau lembaga tersebut. Dipihak lain, kemajuan
teknologi informasi dan komputerisasi menuntun manusia pada model komunikasi
dunia maya yang dipandang lebih efisien. Akibatnya, komunikasi verbal dan
sentuhan serta persekutuan akan semakin jarang ditemui. Pada satu pihak,
kecenderungan ini berdampak positif bagi pelayanan GKPS. Pemanfaatan fasilitas
teknologi informasi, transportasi dan komputerisasi membuat informasi dapat
dengan lebih mudah diakses oleh jemaat-jemaat yang berjauhan. Akan tetapi, ini
sekaligus akan menjadi ancaman tersendiri bagi pelayanan ditengah-tengah
jemaat. Kemajuan teknologi informasi yang membuat dunia seolah dekat bias-bisa
menurunkan keinginan untuk saling bertatap muka, bercerita hati ke hati dan
pelayanan yang bersifat sentuhan verbal akan menjadi langka.
2. Terjadi pemanasan global (global warming). Konsekwensinya adalah terjadi perubahan iklim yang
berdampak pada produktivitas dan aktivitas pertanian yang cenderung menurun. Dalam
konteks GKPS, hal ini patut menjadi perhatian mengingat mayoritas warga jemaat
GKPS bermata pencaharian di bidang pertanian. Walaupun pada tahun 2010, GKPS
sudah memfokuskan pelayanan dalam bagian ini, akan tetapi itu harus turus
digalakkan.
3. Dunia saat ini diperhadapkan dengan kenyataan
krisis energi yang semakin terasa. Menipisnya cadangan minyak di bumi
mengakibatkan harga bahan bakar minyak (BBM) cenderung meningkat dari waktu ke
waktu. Kenaikan ini memicu kenaikan biaya produksi dan pada saatnya memicu
kenaikan harga kebutuhan hidup. Kecenderungan ini pada dasarnya sudah menjadi
persoalan riil dalam kehidupan warga
jemaat demikian juga dalam pelaksanaan pelayan oleh para pelayan GKPS. Kenaikan
biaya produksi akan berdampak pada peningkatan biaya hidup dan biaya
operasional pelayanan.
4. Perkembangan semangat dakwah Islam semakin
signifikan perkembangannya diiringi migrasi umat Islam dari Timur Tengah dan Asia. Dengan keadaan ini pengaruh kekuatan-kekuatan Islam
dalam kancah politik, sosial dan ekonomi dunia akan semakin mewarnai keputusan
dan kebijakan Negara Eropa dan Asia. Dalam
konteks gereja, hal ini juga akan mempengaruhi kebijakan mitra-mitra gereja
yang notabene berada di kawasan Eropa dan Asia.
Lebih jauh, hal ini berdampak pada kebijakan pemerintah yang semakin
mempersempit ruang gerak dan kebebasan pelayanan di wilayah pelayanan GKPS yang
kental akan pengaruh kekuatan Islam tersebut, misalnya saja di wilayah Distrik
VII secara khusus Jabodetabek.
5. Dunia berkembang menjadi global village yang tak lagi terikat pada batas-batas wilayah.
Lewat perkembangan ini apa yang terjadi di luar negeri dengan mudahnya akan
menembus batas-batas Negara dan budaya. Alhasil, peluang dan tantangan yang ada
di luar negeri juga akan langsung mempengaruhi keberadaan dalam negeri.
Persaingan dalam segala lini kehidupan akan semakin ketat dan pemilik modal
dari luar negeri akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan
ekonomi Indonesia.
Kemungkinan besar kemiskinan akan semakin tinggi apabila kita tidak sigap
mempersiapkan diri. Dipihak lain, pasca serangan 11 September peradaban Islam
menjadi kekuatan yang selalu bersinggungan dengan peradaban Barat yang
direpresentasikan dengan Kristen dan sekuler. Dalam global village, persinggungan itu akan semakin terbuka.
Konsekwensinya, Negara pluralis seperti Indonesia akan semakin merasakan
ketegangan yang semakin terbuka itu. Jika tidak segera diantisipasi,
persinggungan itu memberi peluang pada terjadinya konflik horizontal di
Indonesia. Dan sebagai “golongan minor” kecenderungan ini semakin nyata dirasakan
oleh gereja, secara khusus GKPS yang berada diwilayah yang rentan persinggungan
tersebut.
6. Kekuatan dunia mulai bergeser menuju Asia. Beberapa Negara Asia (China dan Jepang) tampil menjadi
kekuatan baru di dunia dan mensejajarkan diri dengan Amerika, Jerman dan Negara
maju lainnya. Hal ini akan menjadikan paradigma dan norma-norma Asia akan menjadi kekuatan yang mempengaruhi kehidupan
dunia. Hal ini berdampak pada pergeseran paradigma berteologi dan memaknai
kehadiran Allah. Gereja-gereja di Sumatera (GKPS) yang lahir dari paradigma dan
model teologi Barat akan sangat merasakan dampa dari kecenderungan ini.
7. Peran perempuan semakin menonjol. Banyak
keputusan-keputusan penting kini dimainkan oleh perempuan. Konsekwesinya,
potensi semangat kesetaraan dan keadilan
gender akan terus berlanjut. Kecenderungan ini telah nyata dalam kehidupan
bergereja begitu juga dalam kehidupan budaya dimana perempuan tidak lagi
dipandang sebagai inferior. GKPS pada dasarnya sudah tanggap terhadap
kecenderungan ini dengan adanya unit pelayanan women crisis centre (WCC).
b. Kecenderungan
perubahan Nasional
1. Otonomi daerah (desentralisasi). Dengan semakin
digalakkannya desentralisasi, pemeritah daerah semakin memiliki kewenangan
untuk mengatur aspek kehidupan di wilayahnya. Pada daerah-daerah yang tergolong
kaya akan SDM dan SDA, Desentralisasi ini bisa saja memicu pembangunan daerah
yang lebih terfokus. sehingga percepatan pembangunan akan berjalan optimal.
Akan tetapi pada wilayah-wilayah yang minim akan SDA dan SDM, desentralisasi
justru menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerahnya. Tidak hanya itu,
apabila desentralisasi tidak dikelola dengan seksama, maka paham sektarian akan
semakin cepat tumbuh sehingga kesatuan di NKRI menjadi hal yang sulit terwujud.
2. Berkembangnya semangat sektarian. Penerapan
desentralisasi yang memberikan kewenangan besar pada daerah untuk mengelola
daerahnya memicu kecenderungan sektarian. Pemerintah daerah melalui kebijakan
dan peraturannya cenderung didominasi aspirasi lokal yang cenderung sektarian,
yang pada akhirnya akan menghambat proses menuju Indonesia damai dalam pluralisme.
Dalam kaitannya dengan visi dan misi GKPS, maka dengan berkembangnya semangat
sektarian jemaat GKPS yang berada diluar wilayah administratif Simalungun akan
merasa terasing.
3. Kecenderungan demokratisasi. Demokrasi memberi
ruang yang lebih besar kepada rakyat untuk ambil bagian dalam pemerintahan.
Akan tetapi, pengalaman memperlihatkan walaupun Indonesia
telah mampu menjalankan pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung
tanpa ada gangguan yang signifikan, dan bahkan Indonesia sudah diikiur sertakan
dalam barisan Negara-negara yang mampu berdemokrasi dengan baik. Akan tetapi
dari aspek pemberian tempat yang proporsional bagi kemajemukan masih banyak
kecenderungan kurang demokratis. Masih pengkotak-kotakan di tengah-tengah
masyarakat, dan bahkan sekat yang dipakai adalah agama. Keadaan ini
memposisikan gereja (GKPS) pada posisi marginal, sehingga hak-haknya sering
kali diabaikan.
4. Kemajuan Teknologi Informasi. Pada kenyataannya,
kemajuan teknologi informasi di Indonesia
sangan sulit untuk dikendalikan. Kemajuan ini membawa kemudahan dalam
komunikasi antar pribadi dengan biaya yang relatif terjangkau. Pada satu sisi,
kemajuan ini membawa pengaruh positif bagi penyebaran informasi. Namun pada
pihak lain, kenyataan ini menyebabkan interaksi langsung antar pribadi lebih
banyak diwarnai dengan interaksi jarak jauh. Persekutuan dan kebersamaan
menjadi pudar.
Kecenderungan-kecenderungan
perubahan yang terjadi dalam skala nasional ini akan membawa dampak pada
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia.
Jika ini bergerak ke arah positif maka gereja akan turut berkembang, akan
tetapi jika ini bergerak menuju arah negatif, maka itu bias saja menjadi
ancaman bagi Gereja.
3. Kecenderungan
perubahan kehidupan Beragama.
1. Terjadi politisasi agama. Kebijakan pemerintah
terhadap umat beragama nasional selalu diwarnai dengan semangat tarik menarik
antara kekuatan kelompok dan golongan. Golongan yang paling kuat, dia akan
mempengaruhi banyak kebijakan. Dalam iklim politik Indonesia, tidak jarang kita
melihat isu-isu dan lebel agama dipakai untuk memperkuat posisi politis, dan
juga sebaliknya. Hal ini akan menjadi keuntungan bagi kelompok agama yang besar
dan akan menjadi ancaman bagi kelompok agama minor.
2. Globalisasi Keagamaan. Globalisasi pada akhirnya
akan menyentuh ranah keagamaan. Interaksi yang tanpa batas antar manusia juga
mempersinggungkan soal kepercayaan atau agama. Peresinggungan ini menimbulkan
tesis baru yang kemudian juga sampai ke Indonesia. Menanggapi tesis itu
akan timbul anti tesis yang bias saja menimbulkan nilai positi ataupun negatif.
3. Gelombang sekularisasi dan relativisme dunia.
Perkembangan relativisme dan sekularisasi berdampak pula pada pemeluk agama di Indonesia,
terutama pemeluk agama yang berada di wilayah perkotaan yang mudah sekali
berinteraksi dengan dunia luar melalui teknologi informasi yang ada.
Nilai-nilai sekularisme dan relativime akan menggeser arti pentingnya agama
bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi GKPS secara khusus yang
berada di wilayah perkotaan. Jika tidak disikapi dengan baik, ancama negatif
relativisme dan sekularisme akan menghancurkan motif persekutuan dan pelayanan
(aktivitas bergereja). Aktivitas bergereja dapat saja dipandang sebagai
rutinitas manusiawi tanpa ada hubungannya dengan Tuhan.
4. Isu-isu terorisme. Isu terorisme dan pandangan
dunia terhadap Islam akan terus berpengaruh kepada suasana hubungan antar
Negara di dunia. Indonesia
yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia akan terus
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pergumulan mencari hubungan harmonis antara
peradaban Islam dengan Barat. Situasi ini akan berpengaruh juga terhadap
lahirnya kebijakan nasional dalam hal kehidupan beragama. Kebijakan itu bisa
saja menjadi tantangan bagi pelayanan yang ada.
5. Dinamika Umat Kristen di Indonesia. Denominasi di
Indonesia saat ini tidak kurang dari 320 denominasi yang terdaftar dalam
kelompok KWI, PGI, PGPI dan PGLI.
Banyaknya denominasi ini akan membawa dinamika tersendiri bagi hubungan antar
denominasi. Ada
peluang untuk terjadinya gesekan-gesekan antar denominasi. Akan tetapi juga
memberi peluang bagi dialog antar denominasi di masyarakat Indonesia.
6. Praktek Sinkritime Agama. Walau sudah hidup di
zaman modern, namun praktek sinkritisme agama masih tetap berlangsung baik di
wilayan pedesaan maupun perkotaan. Hal ini terjadi karena akar budaya nenek
moyang yang kuat dan tata nilai tradisional terus terpelihara. Kondisi ini ini
menjadi tantangan tersendiri bagi gereja saat ini.
4. Pendeta dan Penginjil GKPS
Pendeta dan Penginjil GKPS adalah jabatan pelayan (disamping sintua,
syamas dan guru sekolah Minggu). Pendeta dan Penginjil adalah jabatan pelayan
tahbisan (Lih. TTG GKPS BAB V Pasal 9 ayat 2 dan 3. PRT GKPS BAB III Pasal 13 ayat
1). Sebagai pelayan GKPS Pendeta dan Penginjil memiliki tugas umum seperti yang
tertuang dalam PRT GKPS BAB III Pasal 13 ayat 2 yakni:
a.
Memberitakan firman Tuhan dan mengabarkan Injil.
b.
Mengajarkan firman Tuhan kepada warga jemaat.
c.
Menggembalakan jemaat sesuai dengan teladan Yesus
Kristus.
d.
Melayani jemaat dalam kebaktian, acara khusus yang
diatur dalam peraturan-peraturan GKPS.
e.
Melaksanakan pelayanan dan perbuatan kasih sesuai
dengan teladan Kristus.
f.
Membina warga jemaat menjadi warga jemaat yang mandiri,
dewasa dan bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab gereja.
g.
Membina kemandirian jemaat dalam bidang keuangan,
mengurus dan memelihara harta kekayaan GKPS.
h.
Membina jemaat dan warga jemaat berperan aktiv
dalam kegiatan oikumenis.
i.
Membina warga jemaat menjadi warga Negara yang
bertanggungjawab.
Dalam menjalankan tugas-tugas yang dimaksud, pelayan GKPS tersebut wajib
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk hidup menurut firman Tuhan dan menjadi
teladan bagi jemaat. Membenahi diri dan meningkatkan kemampuan antara lain
melalui sermon, kursus, penelaahan Alkitab dan kegiatan lainnya.
Selanjutnya, secara khusus, Pendeta GKPS bertugas melakukan pelayanan
sakramen. Pelayanan peneguhan sidi. Pelayanan perjanjian perkawinan (parpadanan marhajabuan). Pelayanan
peneguhan dan pemberkatan perkawinan (pamasu-masuon
marhajabuan). Memelihara kemurnian ajaran gereja dari ajaran sesat.
Pentahbisan sintua. Dan pelayanan ibadah penguburan.
Sementara Penginjil GKPS memilki tugas khusus yakni, melaksanakan
Pekabaran Injil ke luar GKPS. Melaksanakan penyegaran iman bagi warga jemaat,
melaksanakann pendalaman firman Tuhan bagi warga jemaat secara kategorial.
Pendeta dan penginjil GKPS adalah
pemimpin sekaligus pelayan ditengah-tengah jemaat. Relasi yang terjadi diantara
Pendeta, Penginjil demikian juga dengan pelayan-pelayan lainnya adalah relasi
mendatar, saling merangkul untuk menjadi satu. Gaya kepemimpinan yang ada di jemaat bersifat
kolektif-kolegial, partisipatif dan gembalais. Pendeta (walaupun sebagai
pimpinan struktural) bukan berarti lebih tinggi dari Penginjil atau
pelayan-pelayan lainnya.
5. Kontribusi
Pendeta/ Penginjil GKPS Dalam Mewujudkan Visi Dan Misi GKPS
Berdasarkan uraian tentang kondisi
GKPS, Kecenderungan Global, Nasional dan Keagamaan yang berkaitan dengan GKPS,
serta dengan menatap keberadaan Pendeta dan Penginjil GKPS seturut dengan TTG
dan PRT GKPS, maka ada beberapa point yang menurut hemat saya mampu
dikontribusikan Pendeta dan Penginjil GKPS dalam kaitannya dengan perwujudan
Visi dan Misi GKPS 2030.
Keadaan GKPS saat ini memperlihatkan gambaran bahwa medan
pelayan yang dihadapi GKPS tersebar luas hampir ke seluruh Indonesia.
Luasnya medan
pelayanan ini hendaknya tidak menjadi alasan bagi pelayan (Pendeta/ Penginjil)
GKPS untuk melupakan tugas penggembalaan. Jarak tidak serta merta dapat
dijadikan alasan untuk tidak peduli. Tren kemajuan teknologi informasi saat ini
hendaknya dimanfaatkan untuk menyentuh jemaat melalui komunikasi yang optimal.
Untuk itu Pendeta/ Penginjil hendaknya terus membekali diri dalam hal ini
sehingga tidak menjadi gagap teknologi.
Kesadaran dan kesediaan anggota jemaat untuk ambil bagian dalam
aktivitas bergereja (termasuk kehadiran dalam kebaktian-kebaktian) erat
kaitannya dengan impact yang mereka terima
dari pelayanan gereja. Oleh karena itu, bentuk pelayanan perlu diarahkan pada
pelayanan yang menyentuh langsung pada realitas yang dialami jemaat. Keadaan
memperlihatkan bahwa masih banyak warga jemaat yang hidup dalam kemiskinan.
Pendeta dan Penginjil harus mampu bersaksi ditengah-tengah kehidupan jemaat
yang miskin ini. Bersaksi tentang Kristus ditengah-tengah masyarakat miskin
adalah menjadi gereja bagi kaum miskin. Hal ini menuntut gereja dan pelayan
gereja bersedia untuk berada bersama mereka, merasakan penderitaan mereka,
mendengar keluhan mereka dan berjuang bersama mereka untuk keluar dari
kemiskinan itu. Pendeta dan Penginjil harus mampu memberikan perlindungan agar
mereka mampu berjuang untuk keluar dari kemiskinan itu. sejalan dengan itu, Gereja
melalui pelayanannya diharapkan mampu memikirkan dan melakukan bentuk pelayanan
yang mampu mengangkat mereka dari realitas kemiskinan itu. dalam hal ini
Pendeta/ Penginjil dapat memberdayakan warga jemaat dan elemen masyarakat untuk
melakukan kegiatan pelayanan subsidi silang. Anggota jemaat yang memiliki
‘lebih’ dimotivasi untuk memberi kepada yang ‘kurang’. Sebaliknya, anggota
jemaat yang ‘kurang’ dapat memberikan tenaga dan waktunya bagi mereka yang
bisa.
Persinggungan antara peradaban Islam dan Barat (yang diwakili Kristen
dan sekuler) menjadi sangat terbuka seiring perjalanan zaman menuju global village. Desentralisasi dan
politisasi agama menjadikan posisi gereja semakin terjepit. Kenyataan ini juga
menerpa beberapa jemaat GKPS. Dalam hal ini Pendeta dan Penginjil GKPS
diharapkan memberikan kesadaran kepada warga jemaat untuk membangun kesadaran
akan perlunya membangun hubungan-hubungan damai, sehingga misi tidak terhenti
dan warga GKPS tidak dikuasai paham primordial dan sektarian. Kesadaran ini perlu
diikuti dengan pola misi yang adaptif dan kontekstuan tanpa harus kehilangan
maknanya. Pola misi diharapkan menjadi misi yang diterjemahkan dalam
program-program gereja diarahkan kepada misi universal yang didasari cinta
kasih. Selain itu, Pendeta dan Penginjil harus terus memacu jemaat untuk terus
bersaksi ditengah-tengah masyarakat yang berbeda agama. Bersaksi ditengah
masyarakat yang berbeda agama berarti menampilkan Yesus yang mengasihi semua
orang tanpa terkecuali. Dalam hal ini, Pendeta dan penginjil diharapkan terus
membangun sikap hidup saling menghormati, saling percaya, saling menerima dan
mengasihi secara tulus. Pendeta dan Penginjil juga berupaya terus membangun
pemahaman bahwa tujuan kesaksian gereja bagi masyarakat yang berbeda agama bukan
bertujuan mengkristenkan mereka, melainkan menghadirkan syalom Allah kepada
siapa saja.
Perkembangan zaman menghantar GKPS pada kenyatan sekain kecilnya
penekanan budaya dan keunikan Simalungun lainnya dalam kehidupan bergereja.
Dikhawatirkan bahwa identitas Simalungun di GKPS akan hilang. Dengan demikian
diperlukan penghayatan dan penerapan teologia konteksual dalam pelayanan yang
dilakukan. Pendeta/ Penginjil harus mampu mengakomodir kebudayaan Simalungun
dalam pengungkapan Kristen (termasuk Liturgi) serta upaya memasukkan
nilai-nilai kearifan lokal Simalungun dalam praktek pelayan yang dilaksanakan.
Nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal terus digali sehingga iman jemaat
terus bertumbuh dan nilai-nilai tradisi dan kebudayaan Simalungun tetap terjaga.
Hal yang terpenting, yang menjadi kontribusi Pendeta dan Penginjil untuk
mewujudkan visi dan misi GKPS adalah kesediaan diri untuk terus diperbaharui
oleh Roh. Pertama-tama, sebelum Pendeta dan Penginjil berkontribusi bagi jemaat
dan gereja, baiklah terlebih dahulu ia memberikan dirinya untuk diperbaharui
dan diami Roh sehingga ia sendiri terberkati dan dengan demikian ia mampu
menjadi pembawa berkat dan peduli bagi yang lain.
Vik. Pdt. Jhonedy Chandra Purba.
GKPS Resort Sibolga (Gunung Sitoli)