Kamis, 28 Februari 2013

Karya Tulis Akhir



KONTRIBUSI PENDETA/ PENGINJIL GKPS DALAM MEWUJUDKAN VISI DAN MISI GKPS

1. Pendahuluan
Pada Sinode Bolon GKPS Ke-40 (29 Juni-4 Juli 2010) di Pematangsiantar diputuskan visi dan misi GKPS 2030. Visi GKPS 2030: Menjadi Gereja Pembawa Berkat dan Kepedulian/ To be a blessing and a caring church/ Gabe gereja siboan pasu-pasu janah sari (Kej. 12:2; Luk. 10:37). Dan Misi GKPS menuju 2030 adalah:
1.      Mengembangkan dan memperdalam spiritualitas yang berpusat kepada Allah.
2.      Melaksanakan persekutuan, kesaksian dan pelayanan secara benar berdasarkan Alkitab.
3.      Membangun kesetiakawanan, kepedulian sosial dan ekonomi berbasiskan Injil.
4.   Meningkatkan kecintaan semangat gotong royong di kalangan jemaat dan masyarakat (haroan bolon, sapangambei manoktok hitei). 
5.      Menumbuhkembangkan cinta kasih kepada sesama dan keutuhan ciptaan.[1]

Sejalan dengan visi di atas, pada tahun 2030, GKPS diharapkan menjadi Gereja pembawa berkat (lembaga gereja yang menjadi berkat). Menjadi lembaga yang menjadi berkat artinya, GKPS akan menjadi lembaga berkarakter positif (memenuhi kriteria lembaga gereja yang berkwalitas unggul) dan kompeten dalam menguatkan serta membawa pembaruan lingkungan sekitarnya. GKPS juga akan mempu menjadi pelopor, motivator dan inovator serta menjaadi fasilitator seluruh jemaat dan sesamanya dalam meningkatkan kualitas hidup sebagai umat Kristen Indonesia.[2] Inilah gambaran GKPS pada tahun 2030.
Kontribusi (Ing. Contribute, contribution) secara sederhana diartikan dengan ‘sumbangan’. Dengan kaitannya dengan judul di atas, maka pada makalah ini akan dibicarakan soal sumbangan pendeta/penginjil GKPS untuk mewujudkan GKPS sebagai gereja pembawa berkat dan peduli pada tahun 2030. Sumbangsih apa yang akan diberikan  pendeta/penginjil GKPS untuk menjadikan GKPS menjadi lembaga gereja yang berkarakter positif dan kompeten dalam mendorong peningkatan kualitas hidup jemaat dan sesamanya sebagai umat Kristen Indonesia yang sejati.

2. Gambaran GKPS saat ini.
GKPS adalah gereja yang dipanggil dan diutus Allah di tengah-tengah dunia ini. Ia berada dan terjadi bukan karena inisiatif manusia, tapi atas inisiatif Allah dalam rangka misi penyelamatan-Nya di tengah-tengah dunia. Hakekat keberadaan gereja bersumber pada misi Allah. Misi Allah melalui GKPS bermula ketika Injil dibawa masuk oleh Pdt. Agust Thais pada 2 September 1903. Sejak itu, misi Allah tarsus berjalan, hingga pada tanggal 1 September 1963 Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS) berdiri sendiri dan terpisah (manjae) dari HKBP dan berganti nama menjadi gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Sejak masuknya Injil ke Simalungun (1903) sampai saat ini terjadi pertumbuhan jemaat GKPS.
Pertumbuhan jemaat GKPS dari waktu ke waktu terus berjalan. Melalui data statistik yang disampaikan Pimpinan Pusat GKPS dalam Laporan Pertanggungjawabannya kepada Sinode Bolon ke-40, kita dapat melihat gambaran bahwa jumlah jemaat GKPS sampai Mei 2010[3] mencapai 218.170 jiwa (52.734 KK yang terdiri dari 42.511 tangga banggal dan 10.223 tangga etek), yang bersekutu dalam 628 jemaat, 115 resort dan 7 distrik yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali. Anggota jemaat ini dilayani oleh 7995 pelayan yang terdiri dari: 181 orang Pendeta, 79 orang Penginjil, 35 orang Vikar Pendeta, 6 orang vikar Penginjil, 4.279 orang Sintua dan 3.415 orang Syamas. Data ini memberikan informasi kepada kita bahwa seorang pelayan GKPS melayani 26 jiwa, dan seorang pelayan melayani 6 rumah tangga. Keadaan ini memperlihatkan gambaran bahwa medan pelayan yang dihadapi GKPS tersebar luas hampir ke seluruh Indonesia.
Pelayanan seorang pelayan erat hubungannya dengan kesediaan jemaat untuk turut ambil bagian dalam setiap aktivitas gereja. Semakin ia merasakan sentuhan pelayanan makan seiring dengan itu, kesediannanya untuk mengikuti aktivitas-aktivitas gereja juga akan semakin besar. Sejalan dengan itu, data statistik memperlihatkan bahwa keikutsertaan jemaat GKPS dalam aktivitas-aktivitas gereja masih perlu untuk ditingkatkan. Misalnya saja dalam jumlah kehadiran jemaat dalam ibadah Minggu, partonggoan dan Horja Banggal Napansing (HBN), data menunjukkan dari 218.170 jiwa jumlah anggota jemaat GKPS, yang mengikuti kebaktian Minggu persentase kehadirannya berkisar 46%, partonggoan 30,5 % dan Sakramen Perjamuan Kudus (HBN) berkisar 43,1%. Keadaan ini paling tidak memperlihatkan dua hal, pertama, kesediaan dan kesadaran anggota jemaat untuk ambil bagian dalam aktivitas bergereja masih rendah. Kedua, pelayanan yang dilakukan para pelayan di GKPS masih perlu untuk dikaji kembali menuju pelayanan yang menyentuh hati.
Dalam pembukaan tata gereja GKPS dikatakan bahwa hadirnya Injil di Simalungun (GKPS) adalah anugerah Allah yang menyelamatkan, memanggil dan mengantar Simalungun dari kegelapan kepada terang Firman Tuhan.[4] Artinya, GKPS hadir ditengah-tengah warga dan budaya Simalungun. Hasimalungunon itu menjadi keunikan tersendiri dari GKPS. Keadaan memperlihatkan bahwa sebagian besar warga jemaat GKPS adalah suku Simalungun walaupun ada beberapa yang berasal dari suku lain. Ini memunculkan harapan agar GKPS tampil sebagai lembaga yang tetap mempertahankan budaya dan bahasa Simalungun. Sebab tidak dapat dipungkiri kerinduan Jemaat untuk menjadi bagian GKPS tidak hanya terbatas pada persoalan iman, tapi juga dipengaruhi oleh kerinduan akan budaya dan bahasa Simalungun. Seiring dengan perkembangannya, GKPS  sudah menjangkau wilayah-wilayah yang memiliki tradisi dan budaya lain. dengan demikian, GKPS dipastikan akan bersentuhan dengan tradisi dan kebudayaan lain. Sebagai gereja yang bersentuhan dengan budaya dan tradisi lain GKPS diharapkan mampu memainkan peran penting bagi dalam pelestarian budaya Simalungun.[5] Upaya ini diperlihatkan penggunaan bahasa Simalungun dalam kebaktian-kebaktian yang diselenggarakan GKPS. Akan tetapi, masih banyak warga jemaat yang kurang masih tidak memakainya secara khusus generasi muda di wilayah perkotaan. Ini merupakan gejala yang harus segera diantisipasi agar GKPS tidak kehilangan keunikan dan ciri khasnya.  
Keragaman lain yang juga turut mewarnai keberadaan GKPS adalah keragaman tingkat perekonomian dan pendidikan serta karakter. Dalam sisi ekonomi, berdasarkan survei Pelpem GKPS tahun 2009 lalu, terdapat gambaran bahwa sebagian besar jemaat GKPS masih berada kategori miskin (secara khusus di wilayah-wilayah pedesaan di daerah basis Simalungun). Hal yang menjadi tolak ukurnya adalah pendapatan rata-rata masyarakat yang masih relatif rendah (+ Rp. 1.200.000) sementara kebutuhan keluarga relatif tinggi. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor antara lain: tidak dimilikinya kemampuan/ keterampilan khusus sehingga hanya mampu bekerja pada sektor yang turun-temurun dan dilakoni orang kebanyakan yaitu pertanian yang sifatnya konvensional. Tidak adanya menejemen usaha yang jelas sehingga sifatnya hanya mengalir. Dan minimnya upaya untuk memperbaiki status ekonominya.[6] Keadaan ini tentunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Dalam perkembangannya, dalam rangka meningkatkan sentuhan pelayanan kepada jemaat, GKPS saat ini sudah berupaya mengoptimalkan pelayanan kepada jemaat melalui pembentukan badan-badan pelayan misalnya, Badan Pendidikan, Badan Kesehatan, Panti Karya Remaja GKPS Vocationan Training Centre, Rumah sakit (RS GKPS Pematang Raya, RS GKPS Bethesda Saribudolok), Pelpem, Komite Intei HIV/ AIDS, Women Crisis Centre, Panti Asuhan BKM GKPS, JPIC, dan tim Advokasi/ Biro Hukum GKPS.

3. Kecenderungan Global, Nasional dan Keagamaan 20 Tahun Mendatang
GKPS hidup dan melayani di tengah-tengah dunia yang dinamis. Sejalan dengan itu, pelayanan yang dilakukan oleh GKPS (dalam hal ini Pendeta dan Penginjil) diharapkan terus up to date dengan harapan pelayanan yang dilakukan benar-benar ‘membumi’ dan dengan demikian kehadiran GKPS sebagai garam dan terang semakin terasa. Untuk itu, dalam upaya pelayanan yang sejurus dengan visi dan misi di atas, seorang pelayan (Pendeta dan Penginjil) diharapkan melakukan identifikasi terhadap kecenderungan-kecenderungan yang ada baik dalam skala global, nasional maupun kecenderungan keberagamaan. Karena dinamika zaman cepat atau lambat akan mempengaruhi kondisi jemaat dan juga turut mempengaruhi style pelayanan yang akan diterapkan. Dan dengan itu pelayanan yang dilaksanakan benar-benar menjadi berkat.
a. Kecenderungan perubahan global/ internasional
1.  Perubahan semakin cepat dalam segala aspek kehidupan sebagai konsekwensi dari pesatnya perkembangan teknologi informasi, transportasi dan komputerisasi. Hal ini berdampak pada tuntutan peningkatan daya adaptasi bagi lembaga dan individu. Ketidakmampuan beradaptasi berarti kehancuran bagi individu atau lembaga tersebut. Dipihak lain, kemajuan teknologi informasi dan komputerisasi menuntun manusia pada model komunikasi dunia maya yang dipandang lebih efisien. Akibatnya, komunikasi verbal dan sentuhan serta persekutuan akan semakin jarang ditemui. Pada satu pihak, kecenderungan ini berdampak positif bagi pelayanan GKPS. Pemanfaatan fasilitas teknologi informasi, transportasi dan komputerisasi membuat informasi dapat dengan lebih mudah diakses oleh jemaat-jemaat yang berjauhan. Akan tetapi, ini sekaligus akan menjadi ancaman tersendiri bagi pelayanan ditengah-tengah jemaat. Kemajuan teknologi informasi yang membuat dunia seolah dekat bias-bisa menurunkan keinginan untuk saling bertatap muka, bercerita hati ke hati dan pelayanan yang bersifat sentuhan verbal akan menjadi langka.  
2.  Terjadi pemanasan global (global warming). Konsekwensinya adalah terjadi perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas dan aktivitas pertanian yang cenderung menurun. Dalam konteks GKPS, hal ini patut menjadi perhatian mengingat mayoritas warga jemaat GKPS bermata pencaharian di bidang pertanian. Walaupun pada tahun 2010, GKPS sudah memfokuskan pelayanan dalam bagian ini, akan tetapi itu harus turus digalakkan.
3.  Dunia saat ini diperhadapkan dengan kenyataan krisis energi yang semakin terasa. Menipisnya cadangan minyak di bumi mengakibatkan harga bahan bakar minyak (BBM) cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kenaikan ini memicu kenaikan biaya produksi dan pada saatnya memicu kenaikan harga kebutuhan hidup. Kecenderungan ini pada dasarnya sudah menjadi persoalan riil dalam kehidupan warga jemaat demikian juga dalam pelaksanaan pelayan oleh para pelayan GKPS. Kenaikan biaya produksi akan berdampak pada peningkatan biaya hidup dan biaya operasional pelayanan.   
4.    Perkembangan semangat dakwah Islam semakin signifikan perkembangannya diiringi migrasi umat Islam dari Timur Tengah dan Asia. Dengan keadaan ini pengaruh kekuatan-kekuatan Islam dalam kancah politik, sosial dan ekonomi dunia akan semakin mewarnai keputusan dan kebijakan Negara Eropa dan Asia. Dalam konteks gereja, hal ini juga akan mempengaruhi kebijakan mitra-mitra gereja yang notabene berada di kawasan Eropa dan Asia. Lebih jauh, hal ini berdampak pada kebijakan pemerintah yang semakin mempersempit ruang gerak dan kebebasan pelayanan di wilayah pelayanan GKPS yang kental akan pengaruh kekuatan Islam tersebut, misalnya saja di wilayah Distrik VII secara khusus Jabodetabek.
5.   Dunia berkembang menjadi global village yang tak lagi terikat pada batas-batas wilayah. Lewat perkembangan ini apa yang terjadi di luar negeri dengan mudahnya akan menembus batas-batas Negara dan budaya. Alhasil, peluang dan tantangan yang ada di luar negeri juga akan langsung mempengaruhi keberadaan dalam negeri. Persaingan dalam segala lini kehidupan akan semakin ketat dan pemilik modal dari luar negeri akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Kemungkinan besar kemiskinan akan semakin tinggi apabila kita tidak sigap mempersiapkan diri. Dipihak lain, pasca serangan 11 September peradaban Islam menjadi kekuatan yang selalu bersinggungan dengan peradaban Barat yang direpresentasikan dengan Kristen dan sekuler. Dalam global village, persinggungan itu akan semakin terbuka. Konsekwensinya, Negara pluralis seperti Indonesia akan semakin merasakan ketegangan yang semakin terbuka itu. Jika tidak segera diantisipasi, persinggungan itu memberi peluang pada terjadinya konflik horizontal di Indonesia. Dan sebagai “golongan minor” kecenderungan ini semakin nyata dirasakan oleh gereja, secara khusus GKPS yang berada diwilayah yang rentan persinggungan tersebut.
6.   Kekuatan dunia mulai bergeser menuju Asia. Beberapa Negara Asia (China dan Jepang) tampil menjadi kekuatan baru di dunia dan mensejajarkan diri dengan Amerika, Jerman dan Negara maju lainnya. Hal ini akan menjadikan paradigma dan norma-norma Asia akan menjadi kekuatan yang mempengaruhi kehidupan dunia. Hal ini berdampak pada pergeseran paradigma berteologi dan memaknai kehadiran Allah. Gereja-gereja di Sumatera (GKPS) yang lahir dari paradigma dan model teologi Barat akan sangat merasakan dampa dari kecenderungan ini.
7.  Peran perempuan semakin menonjol. Banyak keputusan-keputusan penting kini dimainkan oleh perempuan. Konsekwesinya, potensi semangat  kesetaraan dan keadilan gender akan terus berlanjut. Kecenderungan ini telah nyata dalam kehidupan bergereja begitu juga dalam kehidupan budaya dimana perempuan tidak lagi dipandang sebagai inferior. GKPS pada dasarnya sudah tanggap terhadap kecenderungan ini dengan adanya unit pelayanan women crisis centre (WCC).

b. Kecenderungan perubahan Nasional
1.   Otonomi daerah (desentralisasi). Dengan semakin digalakkannya desentralisasi, pemeritah daerah semakin memiliki kewenangan untuk mengatur aspek kehidupan di wilayahnya. Pada daerah-daerah yang tergolong kaya akan SDM dan SDA, Desentralisasi ini bisa saja memicu pembangunan daerah yang lebih terfokus. sehingga percepatan pembangunan akan berjalan optimal. Akan tetapi pada wilayah-wilayah yang minim akan SDA dan SDM, desentralisasi justru menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerahnya. Tidak hanya itu, apabila desentralisasi tidak dikelola dengan seksama, maka paham sektarian akan semakin cepat tumbuh sehingga kesatuan di NKRI menjadi hal yang sulit terwujud.
2.    Berkembangnya semangat sektarian. Penerapan desentralisasi yang memberikan kewenangan besar pada daerah untuk mengelola daerahnya memicu kecenderungan sektarian. Pemerintah daerah melalui kebijakan dan peraturannya cenderung didominasi aspirasi lokal yang cenderung sektarian, yang pada akhirnya akan menghambat proses menuju Indonesia damai dalam pluralisme. Dalam kaitannya dengan visi dan misi GKPS, maka dengan berkembangnya semangat sektarian jemaat GKPS yang berada diluar wilayah administratif Simalungun akan merasa terasing.
3.  Kecenderungan demokratisasi. Demokrasi memberi ruang yang lebih besar kepada rakyat untuk ambil bagian dalam pemerintahan. Akan tetapi, pengalaman memperlihatkan walaupun Indonesia telah mampu menjalankan pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung tanpa ada gangguan yang signifikan, dan bahkan Indonesia sudah diikiur sertakan dalam barisan Negara-negara yang mampu berdemokrasi dengan baik. Akan tetapi dari aspek pemberian tempat yang proporsional bagi kemajemukan masih banyak kecenderungan kurang demokratis. Masih pengkotak-kotakan di tengah-tengah masyarakat, dan bahkan sekat yang dipakai adalah agama. Keadaan ini memposisikan gereja (GKPS) pada posisi marginal, sehingga hak-haknya sering kali diabaikan.
4.  Kemajuan Teknologi Informasi. Pada kenyataannya, kemajuan teknologi informasi di Indonesia sangan sulit untuk dikendalikan. Kemajuan ini membawa kemudahan dalam komunikasi antar pribadi dengan biaya yang relatif terjangkau. Pada satu sisi, kemajuan ini membawa pengaruh positif bagi penyebaran informasi. Namun pada pihak lain, kenyataan ini menyebabkan interaksi langsung antar pribadi lebih banyak diwarnai dengan interaksi jarak jauh. Persekutuan dan kebersamaan menjadi pudar. 

Kecenderungan-kecenderungan perubahan yang terjadi dalam skala nasional ini akan membawa dampak pada kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia. Jika ini bergerak ke arah positif maka gereja akan turut berkembang, akan tetapi jika ini bergerak menuju arah negatif, maka itu bias saja menjadi ancaman bagi Gereja.

3. Kecenderungan perubahan kehidupan Beragama.
1.  Terjadi politisasi agama. Kebijakan pemerintah terhadap umat beragama nasional selalu diwarnai dengan semangat tarik menarik antara kekuatan kelompok dan golongan. Golongan yang paling kuat, dia akan mempengaruhi banyak kebijakan. Dalam iklim politik Indonesia, tidak jarang kita melihat isu-isu dan lebel agama dipakai untuk memperkuat posisi politis, dan juga sebaliknya. Hal ini akan menjadi keuntungan bagi kelompok agama yang besar dan akan menjadi ancaman bagi kelompok agama minor.
2.  Globalisasi Keagamaan. Globalisasi pada akhirnya akan menyentuh ranah keagamaan. Interaksi yang tanpa batas antar manusia juga mempersinggungkan soal kepercayaan atau agama. Peresinggungan ini menimbulkan tesis baru yang kemudian juga sampai ke Indonesia. Menanggapi tesis itu akan timbul anti tesis yang bias saja menimbulkan nilai positi ataupun negatif.
3. Gelombang sekularisasi dan relativisme dunia. Perkembangan relativisme dan sekularisasi berdampak pula pada pemeluk agama di Indonesia, terutama pemeluk agama yang berada di wilayah perkotaan yang mudah sekali berinteraksi dengan dunia luar melalui teknologi informasi yang ada. Nilai-nilai sekularisme dan relativime akan menggeser arti pentingnya agama bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi GKPS secara khusus yang berada di wilayah perkotaan. Jika tidak disikapi dengan baik, ancama negatif relativisme dan sekularisme akan menghancurkan motif persekutuan dan pelayanan (aktivitas bergereja). Aktivitas bergereja dapat saja dipandang sebagai rutinitas manusiawi tanpa ada hubungannya dengan Tuhan.
4.   Isu-isu terorisme. Isu terorisme dan pandangan dunia terhadap Islam akan terus berpengaruh kepada suasana hubungan antar Negara di dunia. Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia akan terus mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pergumulan mencari hubungan harmonis antara peradaban Islam dengan Barat. Situasi ini akan berpengaruh juga terhadap lahirnya kebijakan nasional dalam hal kehidupan beragama. Kebijakan itu bisa saja menjadi tantangan bagi pelayanan yang ada.
5.  Dinamika Umat Kristen di Indonesia. Denominasi di Indonesia saat ini tidak kurang dari 320 denominasi yang terdaftar dalam kelompok KWI, PGI, PGPI dan PGLI.[7] Banyaknya denominasi ini akan membawa dinamika tersendiri bagi hubungan antar denominasi. Ada peluang untuk terjadinya gesekan-gesekan antar denominasi. Akan tetapi juga memberi peluang bagi dialog antar denominasi di masyarakat Indonesia.
6.     Praktek Sinkritime Agama. Walau sudah hidup di zaman modern, namun praktek sinkritisme agama masih tetap berlangsung baik di wilayan pedesaan maupun perkotaan. Hal ini terjadi karena akar budaya nenek moyang yang kuat dan tata nilai tradisional terus terpelihara. Kondisi ini ini menjadi tantangan tersendiri bagi gereja saat ini.

 4. Pendeta dan Penginjil GKPS
Pendeta dan Penginjil GKPS adalah jabatan pelayan (disamping sintua, syamas dan guru sekolah Minggu). Pendeta dan Penginjil adalah jabatan pelayan tahbisan (Lih. TTG GKPS BAB V Pasal 9 ayat 2 dan 3. PRT GKPS BAB III Pasal 13 ayat 1). Sebagai pelayan GKPS Pendeta dan Penginjil memiliki tugas umum seperti yang tertuang dalam PRT GKPS BAB III Pasal 13 ayat 2 yakni: 
a.       Memberitakan firman Tuhan dan mengabarkan Injil.
b.      Mengajarkan firman Tuhan kepada warga jemaat.
c.       Menggembalakan jemaat sesuai dengan teladan Yesus Kristus.
d.      Melayani jemaat dalam kebaktian, acara khusus yang diatur dalam peraturan-peraturan GKPS.
e.       Melaksanakan pelayanan dan perbuatan kasih sesuai dengan teladan Kristus.
f.       Membina warga jemaat menjadi warga jemaat yang mandiri, dewasa dan bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab gereja.
g.      Membina kemandirian jemaat dalam bidang keuangan, mengurus dan memelihara harta kekayaan GKPS.
h.      Membina jemaat dan warga jemaat berperan aktiv dalam kegiatan oikumenis.
i.        Membina warga jemaat menjadi warga Negara yang bertanggungjawab.

Dalam menjalankan tugas-tugas yang dimaksud, pelayan GKPS tersebut wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk hidup menurut firman Tuhan dan menjadi teladan bagi jemaat. Membenahi diri dan meningkatkan kemampuan antara lain melalui sermon, kursus, penelaahan Alkitab dan kegiatan lainnya. 
Selanjutnya, secara khusus, Pendeta GKPS bertugas melakukan pelayanan sakramen. Pelayanan peneguhan sidi. Pelayanan perjanjian perkawinan (parpadanan marhajabuan). Pelayanan peneguhan dan pemberkatan perkawinan (pamasu-masuon marhajabuan). Memelihara kemurnian ajaran gereja dari ajaran sesat. Pentahbisan sintua. Dan pelayanan ibadah penguburan.
Sementara Penginjil GKPS memilki tugas khusus yakni, melaksanakan Pekabaran Injil ke luar GKPS. Melaksanakan penyegaran iman bagi warga jemaat, melaksanakann pendalaman firman Tuhan bagi warga jemaat secara kategorial.
Pendeta dan penginjil GKPS  adalah pemimpin sekaligus pelayan ditengah-tengah jemaat. Relasi yang terjadi diantara Pendeta, Penginjil demikian juga dengan pelayan-pelayan lainnya adalah relasi mendatar, saling merangkul untuk menjadi satu. Gaya kepemimpinan yang ada di jemaat bersifat kolektif-kolegial, partisipatif dan gembalais. Pendeta (walaupun sebagai pimpinan struktural) bukan berarti lebih tinggi dari Penginjil atau pelayan-pelayan lainnya.[8] 


5. Kontribusi Pendeta/ Penginjil GKPS Dalam Mewujudkan Visi Dan Misi GKPS
            Berdasarkan uraian tentang kondisi GKPS, Kecenderungan Global, Nasional dan Keagamaan yang berkaitan dengan GKPS, serta dengan menatap keberadaan Pendeta dan Penginjil GKPS seturut dengan TTG dan PRT GKPS, maka ada beberapa point yang menurut hemat saya mampu dikontribusikan Pendeta dan Penginjil GKPS dalam kaitannya dengan perwujudan Visi dan Misi GKPS 2030.
Keadaan GKPS saat ini memperlihatkan gambaran bahwa medan pelayan yang dihadapi GKPS tersebar luas hampir ke seluruh Indonesia. Luasnya medan pelayanan ini hendaknya tidak menjadi alasan bagi pelayan (Pendeta/ Penginjil) GKPS untuk melupakan tugas penggembalaan. Jarak tidak serta merta dapat dijadikan alasan untuk tidak peduli. Tren kemajuan teknologi informasi saat ini hendaknya dimanfaatkan untuk menyentuh jemaat melalui komunikasi yang optimal. Untuk itu Pendeta/ Penginjil hendaknya terus membekali diri dalam hal ini sehingga tidak menjadi gagap teknologi.
Kesadaran dan kesediaan anggota jemaat untuk ambil bagian dalam aktivitas bergereja (termasuk kehadiran dalam kebaktian-kebaktian) erat kaitannya dengan impact yang mereka terima dari pelayanan gereja. Oleh karena itu, bentuk pelayanan perlu diarahkan pada pelayanan yang menyentuh langsung pada realitas yang dialami jemaat. Keadaan memperlihatkan bahwa masih banyak warga jemaat yang hidup dalam kemiskinan. Pendeta dan Penginjil harus mampu bersaksi ditengah-tengah kehidupan jemaat yang miskin ini. Bersaksi tentang Kristus ditengah-tengah masyarakat miskin adalah menjadi gereja bagi kaum miskin. Hal ini menuntut gereja dan pelayan gereja bersedia untuk berada bersama mereka, merasakan penderitaan mereka, mendengar keluhan mereka dan berjuang bersama mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Pendeta dan Penginjil harus mampu memberikan perlindungan agar mereka mampu berjuang untuk keluar dari kemiskinan itu. sejalan dengan itu, Gereja melalui pelayanannya diharapkan mampu memikirkan dan melakukan bentuk pelayanan yang mampu mengangkat mereka dari realitas kemiskinan itu. dalam hal ini Pendeta/ Penginjil dapat memberdayakan warga jemaat dan elemen masyarakat untuk melakukan kegiatan pelayanan subsidi silang. Anggota jemaat yang memiliki ‘lebih’ dimotivasi untuk memberi kepada yang ‘kurang’. Sebaliknya, anggota jemaat yang ‘kurang’ dapat memberikan tenaga dan waktunya bagi mereka yang bisa.
Persinggungan antara peradaban Islam dan Barat (yang diwakili Kristen dan sekuler) menjadi sangat terbuka seiring perjalanan zaman menuju global village. Desentralisasi dan politisasi agama menjadikan posisi gereja semakin terjepit. Kenyataan ini juga menerpa beberapa jemaat GKPS. Dalam hal ini Pendeta dan Penginjil GKPS diharapkan memberikan kesadaran kepada warga jemaat untuk membangun kesadaran akan perlunya membangun hubungan-hubungan damai, sehingga misi tidak terhenti dan warga GKPS tidak dikuasai paham primordial dan sektarian. Kesadaran ini perlu diikuti dengan pola misi yang adaptif dan kontekstuan tanpa harus kehilangan maknanya. Pola misi diharapkan menjadi misi yang diterjemahkan dalam program-program gereja diarahkan kepada misi universal yang didasari cinta kasih. Selain itu, Pendeta dan Penginjil harus terus memacu jemaat untuk terus bersaksi ditengah-tengah masyarakat yang berbeda agama. Bersaksi ditengah masyarakat yang berbeda agama berarti menampilkan Yesus yang mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Dalam hal ini, Pendeta dan penginjil diharapkan terus membangun sikap hidup saling menghormati, saling percaya, saling menerima dan mengasihi secara tulus. Pendeta dan Penginjil juga berupaya terus membangun pemahaman bahwa tujuan kesaksian gereja bagi masyarakat yang berbeda agama bukan bertujuan mengkristenkan mereka, melainkan menghadirkan syalom Allah kepada siapa saja.
Perkembangan zaman menghantar GKPS pada kenyatan sekain kecilnya penekanan budaya dan keunikan Simalungun lainnya dalam kehidupan bergereja. Dikhawatirkan bahwa identitas Simalungun di GKPS akan hilang. Dengan demikian diperlukan penghayatan dan penerapan teologia konteksual dalam pelayanan yang dilakukan. Pendeta/ Penginjil harus mampu mengakomodir kebudayaan Simalungun dalam pengungkapan Kristen (termasuk Liturgi) serta upaya memasukkan nilai-nilai kearifan lokal Simalungun dalam praktek pelayan yang dilaksanakan. Nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal terus digali sehingga iman jemaat terus bertumbuh dan nilai-nilai tradisi dan kebudayaan Simalungun tetap terjaga. 
Hal yang terpenting, yang menjadi kontribusi Pendeta dan Penginjil untuk mewujudkan visi dan misi GKPS adalah kesediaan diri untuk terus diperbaharui oleh Roh. Pertama-tama, sebelum Pendeta dan Penginjil berkontribusi bagi jemaat dan gereja, baiklah terlebih dahulu ia memberikan dirinya untuk diperbaharui dan diami Roh sehingga ia sendiri terberkati dan dengan demikian ia mampu menjadi pembawa berkat dan peduli bagi yang lain.

 Vik. Pdt. Jhonedy Chandra Purba.
GKPS Resort Sibolga (Gunung Sitoli)

Daftar Bacaan,
http//gkps.or.id
Dokumen Sinode Bolon GKPS Pa-40-hon.
Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS
Kerangka Acuan Tahun Pembinaan Warga Gereja GKPS Tahun 2011, P. Siantar, GKPS, 2011
Tim PME  Pelpem GKPS, Survei Prilaku Ekonomi Masyarakat Miskin Simalungun, P. Siantar; Pelpem GKPS, 2009
http://infoindonesia.wordpress.com
Risalah Sidang majelis Pendeta 2011



[1] http//gkps.or.id
[2] Dokumen Sinode Bolon GKPS Pa-40-hon, hal. 199.
[3] Statistik Sa-GKPS dalam Laporan Pertanggungjawaban Pimpinan Pusat GKPS Pada Sinode Bolon Ke-40.
[4] Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS, Hal. 1
[5] Pelestarian budaya dan tradisi Simalungun ini juga menjadi salah satu hasil yang diharapkan melalui tahun Pembinaan Warga Gereja 2011. Lih. Pimpinan Pusat GKPS, Kerangka Acuan Tahun Pembinaan Warga Gereja GKPS Tahun 2011, P. Siantar, GKPS, 2011, hlm. 11
[6] Tim PME  Pelpem GKPS, Survei Prilaku Ekonomi Masyarakat Miskin Simalungun, P. Siantar; Pelpem GKPS, 2009, hlm. 26.
[7] Data Bimas Kristen Depag RI tahun 2007, dalam http://infoindonesia.wordpress.com
[8] Jontor Situmorang, Pasirsir Hita Ma Kuria In Ase Matoras Ibagas Na Mandalankon Pandiloonni Tuhan (Ceramah di Sidang Majelis Pendeta, 18-21 Jan 2011), dalam Risalah Sidang majelis Pendeta 2011, hlm. 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar