Kamis, 28 Februari 2013

SOMBONG ROHANI (Roma 2:3)



Sejak digulirkannya era reformasi 13 silam, salah satu agenda Republik ini adalah penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum yang adil dan berprikemanusiaan menjadi salah satu pekerjaan yang urgen yang harus diemban penegak bangs ini. Lembaga-lembaga yang berkenaan dengan upaya itu dibenahi dengan serius, mulai dari restrukturisasi Kementrian Kehakiman sampai kepada pembentukan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya ini dilakukan agar hukum yang diberlakukan benar-benar adil dan objektif. Tentunya adil menurut ukuran undang-undang yang memang diakui keabsahannya di negeri ini.

Hukum yang baik adalah hukum yang objektif, artinya hukum yang mengacu pada suatu titik yang diakui sebagai undang-undang yang memuat nilai keadilan dan kebenaran, bukan kepentingan atau keuntungan satu golongan atau pribadi. Sebab, jika titik yang diakui itu kepentingan atau keuntungan maka yang terjadi adalah hukum yang subjektif, yang bertitik tolak pada kebenaran pribadi atau golongan. Dengan itu akan tercipta orang-orang yang seolah kebal akan hukum, padahal sejatinya rumus hokum adalah: yang salah harus disalahkan dan benar harus dibenarkan.

Dalam renungan ini Paulus mengungatkan orang-orang Yahudi pada zamannya untuk menilik bagaimana prilaku kebenaran yang mereka hidupi. Apa yang menjadi titik kebenaran yang mereka yakini. Ada kecenderungan di tengah-tengah bangsa Yahudi bahwa mereka senantiasa benar bahkan menjadi sumber kebenaran. Oleh karena paradigma berfikir yang demikianlah kaum Yahudi meras layak untuk menghakimi orang lain, menempatkan diri sebagai sumber hukum dan penghakiman.

Paulus melihat bahwa hukum yang bersifat subjektif diberlakukan bangsa Yahudi kepada orang lain. Mereka merasa sebagai golongan yang kebal hukum, dan memposisikan diri tetap sebagai yang benar. Padahal pada kenyataannya, prilaku mereka tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang yang mereka hakimi itu. Inilah yang saat ini dikenal sebagai “sombong rohani”. Ini adalah penyelewengan akan eksistensi manusia sebagai hamba Allah. Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, tak ada yang khusus. Semuanya adalah mkhluk yang istimewa, yang adalah “gambar Allah” (imago Dei) yang diharapkan memperlihatkan sifat-sifat Allah. Siapa pun dia, ketika hidupnya tak memperlihatkan sifat-sifat Allah, maka dia adalah seteru Allah, demikian sebaliknya. Maka tugas kita adalah memperlihatkan sifat-sifat Allah itu, bukannya menghakimi orang lain layaknya orang yang tak berdosa. Itulah sebabnya, dalam perikop ini Paulus dengan tegas mengatakan sebuah larangan menghakimi kepada Jemaat Kristen di kota Roma.

Oleh karena itu, sebagai hamba Allah tolak ukur kebenaran adalah hidup yang memperlihatkan sifat-sifat Allah dalam kehidupan ini. Dan memang itulah pekerjaan kita. Jangan sampai terjerumus pada kesombongan rohani, dan jangan tempatkan dirimu sebagai Jahudi-Jahudi baru yang merasa benar menurut kaca matanya sendiri…

Gunung Sitoli, Tano Niha, 5 September 2011
Di Suatu Malam Menjelang Tidur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar