Sejak
digulirkannya era reformasi 13 silam, salah satu agenda Republik ini adalah
penegakan supremasi hukum. Penegakan hukum yang adil dan berprikemanusiaan
menjadi salah satu pekerjaan yang urgen yang harus diemban penegak bangs ini.
Lembaga-lembaga yang berkenaan dengan upaya itu dibenahi dengan serius, mulai
dari restrukturisasi Kementrian Kehakiman sampai kepada pembentukan Komisi
pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya ini dilakukan agar hukum yang
diberlakukan benar-benar adil dan objektif. Tentunya adil menurut ukuran
undang-undang yang memang diakui keabsahannya di negeri ini.
Hukum yang baik
adalah hukum yang objektif, artinya hukum yang mengacu pada suatu titik yang
diakui sebagai undang-undang yang memuat nilai keadilan dan kebenaran, bukan
kepentingan atau keuntungan satu golongan atau pribadi. Sebab, jika titik yang
diakui itu kepentingan atau keuntungan maka yang terjadi adalah hukum yang
subjektif, yang bertitik tolak pada kebenaran pribadi atau golongan. Dengan itu
akan tercipta orang-orang yang seolah kebal akan hukum, padahal sejatinya rumus
hokum adalah: yang salah harus disalahkan dan benar harus dibenarkan.
Dalam renungan
ini Paulus mengungatkan orang-orang Yahudi pada zamannya untuk menilik
bagaimana prilaku kebenaran yang mereka hidupi. Apa yang menjadi titik
kebenaran yang mereka yakini. Ada
kecenderungan di tengah-tengah bangsa Yahudi bahwa mereka senantiasa benar
bahkan menjadi sumber kebenaran. Oleh karena paradigma berfikir yang
demikianlah kaum Yahudi meras layak untuk menghakimi orang lain, menempatkan
diri sebagai sumber hukum dan penghakiman.
Paulus melihat
bahwa hukum yang bersifat subjektif diberlakukan bangsa Yahudi kepada orang
lain. Mereka merasa sebagai golongan yang kebal hukum, dan memposisikan diri
tetap sebagai yang benar. Padahal pada kenyataannya, prilaku mereka tak jauh
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang yang mereka hakimi itu. Inilah
yang saat ini dikenal sebagai “sombong
rohani”. Ini adalah penyelewengan akan eksistensi manusia sebagai hamba Allah.
Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, tak ada yang khusus. Semuanya adalah
mkhluk yang istimewa, yang adalah “gambar Allah” (imago Dei) yang diharapkan memperlihatkan sifat-sifat Allah. Siapa
pun dia, ketika hidupnya tak memperlihatkan sifat-sifat Allah, maka dia adalah
seteru Allah, demikian sebaliknya. Maka tugas kita adalah memperlihatkan
sifat-sifat Allah itu, bukannya menghakimi orang lain layaknya orang yang tak
berdosa. Itulah sebabnya, dalam perikop ini Paulus dengan tegas mengatakan sebuah
larangan menghakimi kepada Jemaat Kristen di kota Roma.
Oleh karena itu,
sebagai hamba Allah tolak ukur kebenaran adalah hidup yang memperlihatkan
sifat-sifat Allah dalam kehidupan ini. Dan memang itulah pekerjaan kita. Jangan
sampai terjerumus pada kesombongan rohani, dan jangan tempatkan dirimu sebagai
Jahudi-Jahudi baru yang merasa benar menurut kaca matanya sendiri…
Gunung Sitoli, Tano Niha, 5 September 2011
Di Suatu Malam Menjelang Tidur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar